
KAJIAN TEKNIS PEMILU 2024 : SISTEM PEMILU INDONESIA KERJASAMA KPU KABUPATEN BANTUL DAN FISIPOL UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Ditulis : Mestri Widodo | Kadiv Teknis Penyelenggaraan KPU Bantul Periode 2023 s/d 2028 Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar merupakan bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang menurut Soewoto Mulyosudarmo dalam bukunya berjudul pembaharuan ketatanegaraan melalui perubahan konstitusi menegaskan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara Indonesia adalah rakyat. Rakyat memberikan mandat terhadap penyelenggraan kekuasaan negara melalui pemilihan umum (pemilu), beberapa pasal hasil amandemen UUD 1945 yang menegaskan kedaulatan rakyat, antara lain: bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat ditegaskan dalam Pasal 6A ayat (1); bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilu dtegaskan dalam Pasal 18 ayat (3); bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis diatur dalam Pasal 18 ayat (4); bahwa anggota DPR dipilih melalui Pemilu diatur dalam Pasal 19 ayat (10); bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilu ditegaskan dalam Pasal 22C ayat (1); Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD, ditegaskan dalam Pasal 22 E ayat (2). Implementasi dari kedaulatan rakyat bewujud pemilu agar lebih aplikatif perlu didukung oleh sistem pemilu. Khairul Fahmi menyampaikan bahwa pilihan terhadap sistem pemilu tertentu dapat menjadi ukuran sejauhmana konsistensi peneyelenggara negara terhadap prinsip kedaulatan rakyat dalam UUD 1945, semakin sistem pemilu tersebut memberikan ruang lebih banyak dan luas bagi rakyat untuk menentukan sendiri pilihannya maka sistem pemilu tersebut lebih mendekati hakekat kedaulatan rakyat. Perjalanan panjang sistem pemilu ditulis oleh Arif Suginata dan Abdul Majid dalam karya tulis berjudul Sistem Pemilu sebagai wujud demokrasi di Indonesia. Dalam tulisannya disampaikan bahwa pemilu pada tahun 1955 yang dilaksanakan dua kali pemilu untuk memilih parlemen pada hari Kamis, 29 September 1955 dan untuk memilih konstituante pada Kamis, 15 Desember 1955. Dasar hukum pelaksanaan pemilu 1955 adalah UU No 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan menerapkan asas langsung, bebas, jujur, kebersamaan, umum dan rahasia. Ditegaskan dalam UU No 7 Tahun 1953 bahwa pelaksanaan Pemilu ditujukan untuk memilih anggota bikameral yaitu Parlemen dan Konstituante dengan sistem pemilu menggunakan sistem perwakilan proporsional tertutup dan setiap daerah pemilihan (dapil) akan mendapatkan jumlah kursi atas dasar jumlah penduduknya. Berdasarkan artikel berjudul Naskah Sumber Arsip Jejak Demokrasi Pemilu 1955, Arsip Nasional Republik Indonesia yang ditulis oleh Mustari dkk dijelaskan bahwa Pemilu 1955, Sistem penghitungan sebagai berikut Untuk penetapan anggota Parlemen adalah jumlah total penduduk Indonesia dibagi 300 ribu kemudian dibulatkan; Untuk penetapan anggota Konstituante adalah jumlah total penduduk Indonesia dibagi 150 ribu kemudian dibulatkan. Pemilu untuk memilih Parlemen diikuti 118 peserta yang terdiri dari 36 partai politk, 34 organisasi masyarakat dan 48 dari perorangan, hasil akhir Pemilu 1955 untuk memilih Parlemen dimenangkan oleh PNI dengan perolehan 8.434.653 suara dan 57 kursi di Parlemen. Hasil Pemilu 1955 untuk memilih Konstituante diikuti 91 peserta yang terdiri dari 39 partai politik, 23 organisasi masyarakat dan 29 dari perorangan, Pemilu Konstituante dimenangkan PNI dengan perolehan 9.070.218 suara dan 119 kursi di Konstituante. Sistem pemilu proporsional dengan daftar calon tertutup digunakan dalam pemilu 1971 dengan asas langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER) dan dasar hukum UU No 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat dan UU No 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu Tahun 1971 dilaksanakan pada hari Senin, 5 Juli dan diikuti oleh 9 partai politik dan 1 ormas. Sistem penghitungan penetapan anggota Parlemen berdasarkan stelsel daftar atau pembagian total suara dari masing-masing wilayah dibagi dengan electoral quotient dengan jumlah kursi Parlemen sebanyak 460 kursi, dengan rincian 360 kursi diperebutkan melalui pemilihan langsung oleh rakyat sedangkan 100 kursi untuk anggota parlemen yang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan golongan fungsional oleh Presiden. Hasil akhir Pemilu Golkar menjadi pemenangn dengan perolehan 34.348.673 suara dan 236 kursi di Parlemen. Pemilu 1977 menggunakan sistem pemilu proporsional dengan daftar calon tertutup untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten. Peserta pemilu 1977 terdiri dari 2 partai politik (PPP dan PDIP ) dan 1 Golongan karya yang pelaksanaannya pada hari Senin, 2 Mei 1977. Dasar hukum pelaksanaan pemilu 1977, berdasarkan pada UU No 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Sistem penghitungannya dengan menggunakan model stelsel daftar atau pembagian total suara dari masing-masing wilayah dibagi dengan electoral quotient. Pemilu 1977 jumlah kursi dan peruntukkannya sama dengan pemilu 1971 sebanyak 460 kursi dan Hasil akhir nya dimenangkan Golkar dengan perolehan 39.750.096 suara dan 232 kursi di Parlemen. Pemilu 1982 sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional dengan daftar calon tertutup dan dasar hukumnya adalah UU No 2 Tahun 1980 tentang perubahan atas UU No 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Hari pemungutan suara pemilu 1982 pada hari Selasa, 4 Mei 1982 dan diikuti oleh 3 peserta pemilu yaitu PPP, PDIP dan Golkar. Penghitungan perolehan kursi menggunakan metode stelsel daftar atau pembagian total suara dari masing-masing wilayah dibagi dengan electoral quotient. Ada 460 kursi Parlemen yang diperebutkan dalam pemilu 1982 dengan rincian 364 dipilih langsung oleh rakyat dan 96 diangkat oleh Presiden dan hasil akhirnya kembali dimenangkan Golkar dengan perolehan 48.334.724 suara dan 242 kursi di Parlemen. Pemilu 1987 menajdi pemilu keempat pada masa Orde Baru yang dilaksanakan pada hari Kamis, 23 April 1987 berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Sistem Pemilu yang digunakan di pemilu 1987 adalah sistem proporsional dengan daftar calon tertutup yang diikuti oleh 3 peserta pemilu. Jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 500 kursi dengan rincian 400 dipilih langsung oleh rakyat dan 100 anggota diangkat oleh Presiden. Golkar sebagai pemenang pemilu 1987 dengan perolehan 62.783.680 suara dan mendapatkan 299 kursi di Parlemen. Pemilu 1992 menganut sistem pemilu proporsional dengan daftar calon tertutup yang diikuti 3 peserta pemilu dan UU Nomor 1 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat sebagai dasar hukumnya. Penghitungan Perolehan kursi Parlemen dengan metode stelsel daftar atau pembagian total suara dari masing-masing wilayah dibagi dengan electoral quotient. Hasil pemungutan suara pada hari Selasa, 9 Juni 1992 menasbihkan Golkar sebagai pemenang dengan perolehan 66.599.331 suara dan 282 kursi di Parlemen. Pelaksanaan Pemilu 1997 diselenggarakan berdasarkan Tap MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1993 tentang Pemilu serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pemilihan Umum. Hari pemungutan suaranya pada hari Kamis, 29 Mei 1997 dan menggunakan sistem pemilu proporsional dengan daftar calon tertutup yang diikuti oleh 3 peserta pemilu. Penghitungan Perolehan kursi Parlemen dalam pemilu 1997 dengan metode stelsel daftar atau pembagian total suara dari masing-masing wilayah dibagi dengan electoral quotient dan pemenangnya adalah Golkar dengan perolehan 84.187.907 suara dan 325 kursi di Parlemen. Dalam penyelenggaraan pemilu, sejak 1971 sampai dengan 1997 merupakan pemilu yang dilaksanakan pada masa orde baru dan hanya memilih anggota parlemen berdasarkan penghitungan perolehan suara dengan Electoral Quotient yang menunjuk pada bilangan pembagi pemilihan, yaitu suatu perbandingan (rasio) antara jumlah pemilih dengan jumlah wakil yang akan duduk dalam lembaga perwakilan yang ditentukan dalam lembaga perwakilan yang ditentukan dalam perundang-undangan. Sistem Pemilu yang digunakan dalam pemilu 1999 adalah sistem proporsional dengan daftar calon tertutup dengan jumlah peserta pemilu sebanyak 48 partai politik. Indra Pahlevi dalam tulisan dijurnal berjudul “Dinamika Sistem Pemilu Masa Transisi Indonesia” menjelaskan bahwa Pemilu 1999 belum ada daftar nama calon dalam surat suara dikarenakan masih menggunakan sistem closed list sistem dan pemilih hanya memilih patai politik. Hari pemungutan suara dalam pemilu 1999 pada Senin, 7 Juni 199 dan mekanisme Penghitungan perolehan kursi menggunakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu bahwa Jumlah kursi anggota DPR RI untuk setiap Daerah Pemilihan ditetapkan berdasarkan pada jumlah penduduk di setiap daerah tingkat I dengan ketentuan setiap daerah tingkat II mendapat sekurang-kurangnya 1 (satu) kursi. Hasil pemilu 1999 ada 21 Parpol yang memndapatkan kursi di DPR RI dan PDIP mendapatkan 154 kursi dengan perolehan suara sabanyak 35.689.073 suara. Penyelenggaraan Pemilu 2004 terdiri dari pemilihan legislatif dan pemilihan eksekutif, hari pemungutan suara untuk pemilu legislatif pada hari Senin, 5 April 2004 sedangkan pemilihan eksekutif dilaksanakan dua putaran. Pemungutan suara pemilihan presiden untuk putaran pertama diselenggarakan pada hari Senin, 5 Juli 2004, diikuti oleh 5 pasangan calon yaitu Prof. Dr. H. M. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo (dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional) Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. (dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan) Hj. Megawati Soekarnoputri dan K. H. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) H. Wiranto, SH. dan Ir. H. Salahuddin Wahid (dicalonkan oleh Partai Golongan Karya) Pemungutan suara untuk putaran kedua pada hari senin, 20 September 2004 untuk menentukan pemenang diatara dua pasangan calon, akhirnya dimenangkan oleh H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla dengan perolehan 69.266.350 atau 60,62% suara. Sistem Pemilu dalam pemilu 2004 untuk memilih legislatif menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka dan peserta pemilu 2004 sebanyak 24 parpol. Penentuan calon terpilih diatur dalam pasal 105 UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD , yang berbunyi Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas seluruh hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), dan Pasal 101 ayat (3). Dari hasil penghitungan seluruh suara sah yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan angka BPP dengan cara membagi jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Pemilu 2004 jumlah parpol yang mendapatkan kursi DPR RI sebanyak 16 parpol dengan mekanisme penghitungannya diatur dalam pasal 105 dan 106 UU No 12 Tahun 2003 dengan menggunakan Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) yaitu bilangan yang diperoleh dari hasil pembagian jumlah suara sah dengan jumlah kursi di daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi partai politik peserta Pemilu. Hasil akhir pemilihan legislatif 2004 dimenangkan partai Golkar dengan perolehan 128 kursi dan 24.461.104 suara, Pemilu 2009 diselenggarakan untuk memilih legislatif pada hari Kamis, 9 April 2009 dan untuk memilih eksekutif pada hari Rabu, 8 Juli 2009. UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menjadi dasar pelaksanaan pemilu legislatif yang mengatur penetapan jumlah kursi berdasarkan BPP, sistem proporsional dengan daftar calon terbuka dan Parliamentary Threshold (ambang batas perolehan suara) sebagaimana diatur dalam pasal 202 UU Nomor 10 Tahun 2008, yang berbunyi : Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Peserta Pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai nasional, dan setelah ditetapakan perolehan suaranya hanya 9 partai politik yang memenuhi ambang batas dan memiliki kursi di DPR RI. partai Demokrat menjadi partai pemenang untuk Pemilihan legislatif 2009 dengan perolehan 21.703.137 suara dan 148 kursi di DPR. Pemilu untuk memilih presiden diikuti oleh 3 paslon dan dilaksanakan satu putaran saja, dikarenakan telah memenuhi syarat 50% suara yang diperoleh pasangan SBY-Boediono dengan prosentase 60,8 % (73.847.562 suara) berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Rabu, 9 April 2014 dilaksanakan pemilihan legislatif yang berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan pemilu 2014 yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2013 antara lain: untuk dapat menjadi peserta Pemilu mensyaratkan keterlibatan 30% perwakilan perempuan sebagai pengurus partai di tingkat pusat; sistem pemilu yang digunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka; Parliamentary Threshold /ambang batas sebesar 3,5% Peserta pemilu 2014 sebanyak 12 partai politik nasional dan setelah penetapan perolehan suara yang memenuhi ambang batas 3,5 % sebanyak 10 parpol untuk mendapatkan kursi di DPR RI. PDIP menjadi partai pemenang pemilu 2014 dengan perolehan kursi sebanyak 109 kursi dari penghitungan suara total sebanyak 23.681.471 suara. Penyelenggaraan pemungutan suara untuk memilih presiden dan wakil presiden dilaksanakan pada hari Rabu, 9 Juli 2014 berdasarkan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur sistem dua putaran dan menggunakan sistem presidential threshold sebagai ambang batas pencalonan. Pemilu 2014 diikuti oleh 2 paslon dan berjalan hanya 1 putaran untuk kemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan perolehan 70.997.833 suara atau 53,15%. Pemilu Tahun 2019 diselenggarakan dalam keserentakan waktu pemungutan suara untuk memilih legislatif dan eksekutif pada hari yang sama yaitu Rabu, 17 April 2019. Dasar hukum pelaksanaan keserentakan pemilu 2019, berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 hasil pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden terhadap UUD 1945. Dalam PMK Nomor 14/2013, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa keserentakan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif memperhatikan keterkaitan antara sistem pemilihan dan sistem pemerintahan presidensial. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi penguat dasar keserentakan pemilu, sistem pemilu proporsional terbuka dan ambang batas parlemen 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR. Peserta Pemilu 2019 diikuti 14 partai politik dan hanya 9 partai yang mendapatkan kursi di DPR RI dengan PDI Perjuangan menjadi parpol pemenangnya dengan perolehan 27.053.961 suara dan mendapatkan 128 kursi di DPR RI, sedangkan hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dimenangkan pasangan Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin dengan perolehan 85.607.362 suara atau 55,50%. Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2024 landasan hukumnya sama dengan penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2019 yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017 sehingga pengaturan sistem pemilu untuk legislatif masih menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka sesuai pasal 168 (2) dan ambang batas parlemennya masih 4 % sesuai pasal 414 (1). Hasil akhir Pemilu serentak 2024 untuk memilih paslon presiden dan wakil presiden berdasarkan berita acara KPU nomor 218/PL.01.08-BA/05/2024 memutuskan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi Raka memperoleh 96.214.691 suara atau 58 %. pemilu 2024 diikuti oleh 18 parpol dan Hasil rekapitulasi perolehan suara memenuhi ambang batas hanya 8 parpol, sedangkan parpol pemenangnya diraih oleh PDI Perjuangan dengan perolehan 25.387.279 suara atau 16,72 %. Berdasarkan penjelasan perjalanan penyelenggaraan pemilu di Indonesia diatas maka dapat dipetakan bahwa sistem pemilu dalam pemilihan legislatif yang digunakan adalah sistem proposional dengan variasinya, yaitu Sistem Pemilihan Proporsional Tertutup dipergunakan dalam pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999 Sistem Pemilihan Proporsional Terbuka dipergunakan dalam pemilu 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024 KPU Kabupaten Bantul bekerjasama dengan Fisipol UMY melakukan Kajian Teknis kepemiluan bersama 18 Parpol peserta pemilu 2024 dan menghadirkan dua pemantik diskusi yaitu Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, MA dan Prof. Iwan Satriawan, SH., MCL, PhD pada hari Sabtu, 19 Juli 2025 di Gedung Fisipol UMY. Subtansi kajian teknis kepemiluan terkait dengan sistem proposional terbuka yang digunakan dalam Pemilu Serentak 2024 berdasarkan pasal Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa “Pemilu untuk memilih DPR, DPRDProvinsi, DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”. Prof. Iwan Satriawan, SH., MCL, PhD menyampaikan dalam paparan evaluasinya bahwa ada kegamangan dalam penggunaan sistem pemilu proporsional dalam pemilu Indonesia dikarenakan etika aktor politik yang memanfaatkan kelemahan sistem pemilu tersebut. Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, MA menguatkan apa yang disampaikan Prof. Iwan dengan menyampaikan Analisa hasil riset dari 300 responden terkait sistem proporsional tertutup atau Closed-List Proportional Representation (CLPR) dan Sistem Proporsional terbuka atau Open-List Proportional Representation (OLPR). Evaluasi terhadap sistem CLPR menunjukkan bahwa sistem ini memiliki kekuatan internal lebih besar, tetapi menghadapi ancaman besar dari eksternal, terutama terkait potensi dominasi oligarki partai. Dalam sistem ini, pemilih tak mempunyai peluang mempengaruhi keterpilihan caleg, masyarakat tidak mengenal caleg yang mewakili aspirasi mereka, potensi caleg perempuan dipilih kecil dan tidak terbangun komitmen langsung antara caleg dan masyarakat. dikarenakan penentuan calon legislatif terpilih sepenuhnya berada di tangan partai politik. Sedangkan Sistem OLPR memiliki kelemahan internal yang lebih besar dibandingkan kekuatannya, tetapi secara eksternal memiliki keseimbangan antara peluang dan ancaman. Sistem ini memberikan kesempatan bagi Masyarakat untuk mempengaruhi keterpilihan caleg secara langsung, ada potensi besar terjadinya Pendidikan politik ke masyarakat. sistem OLPR masih memiliki aspek positif, khususnya dalam hal keterbukaan. Kedua sistem CLPR dan OLPR tersebut sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan. Hanya saja, Analisa dengan metode SWOT dan pendekatan teori embedded democracy (konsolidasi demokrasi) menunjukkan, bahwa sistem OLPR jauh lebih baik ketimbang sistem CLPR. Ridho menyampaikan perlunya sistem alternatif yang disebut Moderate List Proportional Representation (MLPR), yaitu sistem jalan tengah yang menggabungkan aspek positif dari CLPR dan OLPR atau agar tidak terjebak pada dua dikotomi sistem ekstrem: CLPR yang terlalu menggantungkan intervensi partai (party-centered politics) dan OLPR yang terlalu menggantungkan kekuatan sosok kandidat (candidate-centered politics). Tawaran rumusan hitung kursi dalam sistem MLPR disimulasikan sebagai berikut Jika suara caleg melebihi suara partainya, caleg tersebut berhak memperoleh kursi sepanjang suara partai memenuhi ambang batas parlemen (Ini intervensi sistem OLPR); Jika suara caleg lebih sedikit dari suara partai, caleg dengan nomor urut terkecil berpotensi besar terpilih (ini intervensi sistem CLPR); Jika partai mendapatkan 2 alokasi kursi di dapil tertentu, sementara ada 1 caleg yang perolehan suaranya melebihi suara partainya, kursi tersebut otomatis menjadi miliknya. Sedangkan jika suara caleg yang kedua tidak melebihi suara partai, maka kursi tersebut ditentukan berdasarkan nomor urut terkecil yang berpotensi terpilih. Disinilah “proses jalan tengah” berfungsi/bekerja; Jika caleg no urut 1 sudah dapat kursi karena perolehan suaranya lebih tinggi dari suara partai, sementara untuk kursi kedua tidak ada suara caleg yang melebihi suara partai, maka no urut 2 berpotensi terpilih (prinsip CLPR: no urut terkecil). Suara pemilih tetap dianggap sah jika pemilih memilih 1 daftar nama caleg dan juga memilih 1 lambang partai dalam satu partai yang sama. Penghitungan suaranya : ½ suara untuk partai dan ½ suara untuk caleg. Suara total tiap partai memungkinkan adanya angka setelah koma, missal : 147,5 suara Pasca paparan dua narasumber, Sarmuji perwakilan dari PKS menyampaikan bahwa sistem MPLR secara aplikatif akan menyulitkan KPPS dikarenakan ada penilaian ½ dalam penghitungan peroleha suara, yang dimungkinkan terjadi kesalahan saat rekap penghitungan, selanjutnya sarmuji menjelaskan potensi kader yang tidak mau maju dalam pencalonan dengan penggunaan sistem proposional tertutup murni dikarenakan selama ini untuk persiapan pemilu penyiapan logistik dilakukan oleh parpol dengan menghimpun dari seluruh kader bukan hanya pengurus untuk menghindari elit internal partai. Patra perwakilan Gerindra, masih meragukan sistem MPLR dapat menjadi jalan tengah terhadap maraknya politik uang dan meminimalkan ongkos politik yang harus di tanggung oleh caleg dalam pemilu karena faktanya ongkos politik selalu meningkat dari pemilu ke pemilu. Isu ongkos politik mahal disampaikan oleh Jumakir perwakilan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), fakta banyak anggota dewan terpilih yang mbrambangi (sedih) pasca pemilu dikarenakan nilai SK yang digadaikan ke bank hanya dinilai 1,2 Miliar padahal ongkos politik yang dikeluarkan melebihi angka tersebut. Pilihan sistem pemilu apakah menggunakan proposional terbuka atau tertutup, yang terpenting adalah memahamkan masyarakat untuk sadar politik dalam proses pemilu berkala, termasuk perlunya mengganti diksi “pesta demokrasi” dengan “musyawarah masyarakat” dengan tujuan mereduksi istilah pesta yang terkesan selalu menghamburkan uang. Perwakilan Golkar Widodo, menceritakan pengalaman pencalonannya dengan sistem proposional terbuka sejak tahun 2004 hingga 2024 dalam 5 kesempatan pencalonan, Widodo menjadi anggota DPRD Bantul pada periode 2014 -2019, Pemilu 2019 menurut Widodo menjadi pemilu dengan anggota dewan terpilihnya memiliki amunisi (ongkos) politik yang besar dan pengalaman empirisnya bahwa masyarakat saat itu selalu meminta pembangunan fisik atau sejumlah uang setiap ada caleg berkampanye yang membuat biaya politiknya makin besar. Perwakilan PDIP, Adip menyampaikan usulan kombinasi sistem pemilu untuk memilih legislatif yaitu untuk jenis pemilu DPR RI menggunakan sistem proporsional terbuka dan untuk jenis pemilu DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota menggunakan sistem proposional tertutup, hal ini untuk menguatkan sistem pengkaderan parpol mulai tingkat bawah dan disiapkan menjadi petarung dalam sistem proposional tebuka di tingkat pusat. Salsa Aurelia perwakilan PAN, berpendapat bahwa sisitem proposional terbuka saat ini memberikan ruang bagi generasi muda untuk berkiprah dalam ranah politik sehingga potensi orang muda dalam pengambilan kebijakan terakomodir. Hasan wakil dari Gelora menyoroti kewenangan pimpinan parpol tingkat pusat dalam pengelolaan calon legislatif Tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota melalui SIPOL dan SILON serta Putusan MK No 135 Tahun 2025 yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu lokal akan berdampak pada pencalonan di pemilu 2029. Gusvan Perwakilan Partai Garuda menegaskan bahwa sistem proporsional terbuka memang perlu untuk di perkuat dengan cara mereduksi atau meminamalisir kelemahan sistem tersebut, sedangkan Perwakilan Partai Buruh, Azis optimis terhadap sistem pemilu MLPR yang ditawarkan tentu dengan memperkuat hal-hal teknis pelaksanaannya. Didik Ketua Bawaslu Bantul memberikan beberapa catatan terhadap Sistem MLPR yaitu pertama, perlu adanya alternatif rumusan penghitungan MLPR yang ada di level KPPS dan saksi baik berupa indeks, interval atau hal lainnya untuk memudahkan proses koreksi secara berjenjang ; kedua, ada ruang penguatan bagi parpol untuk memahami MLPR untuk melakukan pengujian terhadap PMK No 135/2025; ketiga, perlu penguatan sistem MLPR di Penyelenggara pemilu untuk melakukan simulasi dan mendapatkan masukan secara komperhensif untuk pelaksanaan teknisnya, Hal senada disampaikan oleh Diwangkara, staff KPU Bantul bahwa perlu ujicoba untuk teknis pelasksanaan sistem MLPR. Setelah pelaksanaan kajian, KPU Bantul akan melakukan penyusunan narasi dari proses diskusi banyak pihak kedalam satu dokuemen untuk dikirimkan ke KPU RI. Rekam Proses kajian Sistem pemilu Kerjasama KPU Bantul dan Fisipol UMY dapat diakses di kanal youtube KPU Bantul melalui link https://www.youtube.com/watch?v=EpaqPLmnR9g&t=11684s. Penulis secara pribadi mengucapkan terimakasih kepada UMY khususnya FISIPOL atas kerjsamanya dan kepada peserta kajian dari unsur 18 Parpol Tingkat Kabupaten Bantul, Bawaslu Bantul dan KPU Daerah Istimewa Yogyakarta serta Sekretariat KPU Bantul atas terselenggaranya acara dengan optimal dan membahagiakan. #SALAM HAN 23 JULI 2025