Opini

KAJIAN TEKNIS PEMILU 2024 : SISTEM PEMILU INDONESIA KERJASAMA KPU KABUPATEN BANTUL DAN FISIPOL UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Ditulis : Mestri Widodo | Kadiv Teknis Penyelenggaraan KPU Bantul Periode 2023 s/d 2028 Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar merupakan bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang menurut Soewoto Mulyosudarmo dalam bukunya berjudul pembaharuan ketatanegaraan melalui perubahan konstitusi menegaskan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara Indonesia adalah rakyat.  Rakyat memberikan mandat terhadap penyelenggraan kekuasaan negara melalui pemilihan umum (pemilu), beberapa pasal hasil amandemen  UUD 1945 yang menegaskan kedaulatan rakyat, antara lain: bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat ditegaskan dalam  Pasal 6A ayat (1); bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilu dtegaskan dalam Pasal 18 ayat (3); bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis  diatur dalam  Pasal 18 ayat (4); bahwa anggota DPR dipilih melalui Pemilu diatur dalam Pasal 19 ayat (10); bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilu ditegaskan dalam Pasal 22C ayat (1); Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD, ditegaskan dalam Pasal 22 E ayat (2). Implementasi dari kedaulatan rakyat bewujud pemilu agar lebih aplikatif perlu didukung oleh sistem pemilu.  Khairul Fahmi menyampaikan  bahwa pilihan terhadap sistem pemilu tertentu dapat menjadi ukuran sejauhmana konsistensi peneyelenggara negara terhadap prinsip kedaulatan rakyat dalam UUD 1945, semakin sistem pemilu tersebut memberikan ruang lebih banyak dan luas bagi rakyat untuk menentukan sendiri pilihannya maka sistem pemilu tersebut lebih mendekati hakekat kedaulatan rakyat. Perjalanan panjang sistem pemilu ditulis oleh Arif Suginata dan Abdul Majid dalam karya tulis berjudul Sistem Pemilu sebagai wujud demokrasi di Indonesia. Dalam tulisannya disampaikan bahwa pemilu  pada tahun 1955 yang dilaksanakan dua kali pemilu untuk memilih parlemen pada hari Kamis, 29 September 1955 dan  untuk memilih konstituante pada Kamis, 15 Desember 1955. Dasar hukum pelaksanaan pemilu 1955 adalah UU No 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante  dan  Anggota  Dewan  Perwakilan  Rakyat  dengan  menerapkan  asas langsung, bebas, jujur, kebersamaan, umum dan rahasia.  Ditegaskan dalam UU No 7 Tahun 1953 bahwa pelaksanaan   Pemilu  ditujukan  untuk  memilih  anggota  bikameral  yaitu Parlemen  dan  Konstituante  dengan  sistem pemilu menggunakan sistem  perwakilan  proporsional tertutup dan setiap daerah pemilihan  (dapil) akan mendapatkan jumlah kursi atas dasar jumlah penduduknya. Berdasarkan artikel berjudul Naskah  Sumber  Arsip  Jejak  Demokrasi  Pemilu  1955,  Arsip Nasional Republik Indonesia yang ditulis oleh Mustari dkk dijelaskan bahwa Pemilu 1955, Sistem penghitungan sebagai berikut Untuk penetapan anggota Parlemen adalah jumlah total penduduk  Indonesia dibagi 300 ribu kemudian dibulatkan; Untuk penetapan anggota Konstituante adalah  jumlah  total  penduduk  Indonesia  dibagi  150  ribu  kemudian  dibulatkan.  Pemilu  untuk  memilih  Parlemen  diikuti  118  peserta  yang  terdiri  dari  36  partai politk,  34  organisasi  masyarakat  dan  48  dari  perorangan,  hasil akhir  Pemilu 1955 untuk memilih  Parlemen dimenangkan oleh PNI dengan perolehan 8.434.653 suara  dan 57 kursi di Parlemen. Hasil Pemilu 1955  untuk memilih Konstituante diikuti 91 peserta  yang terdiri dari 39  partai  politik,  23  organisasi  masyarakat  dan  29  dari  perorangan,  Pemilu Konstituante dimenangkan PNI dengan perolehan 9.070.218 suara dan 119 kursi di Konstituante. Sistem pemilu proporsional dengan daftar calon tertutup digunakan dalam pemilu 1971 dengan asas langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER) dan dasar hukum UU No 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat dan UU No 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu Tahun 1971 dilaksanakan pada hari Senin, 5  Juli dan diikuti oleh 9 partai politik dan 1 ormas. Sistem  penghitungan  penetapan  anggota Parlemen berdasarkan stelsel daftar atau pembagian total suara dari masing-masing wilayah  dibagi  dengan electoral  quotient dengan jumlah kursi Parlemen sebanyak 460  kursi, dengan rincian 360 kursi diperebutkan melalui  pemilihan langsung oleh rakyat sedangkan  100 kursi untuk anggota parlemen yang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan golongan fungsional oleh Presiden. Hasil akhir Pemilu Golkar menjadi pemenangn dengan perolehan 34.348.673 suara dan 236 kursi di Parlemen. Pemilu 1977 menggunakan sistem pemilu proporsional dengan daftar calon tertutup untuk  memilih  anggota  DPR,  DPRD  provinsi dan DPRD  Kabupaten. Peserta pemilu 1977  terdiri dari  2 partai politik  (PPP dan PDIP ) dan 1 Golongan karya yang pelaksanaannya pada hari Senin, 2 Mei 1977.  Dasar hukum pelaksanaan pemilu 1977, berdasarkan pada UU No 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun    1969    tentang    Pemilihan    Umum    Anggota    Badan Permusyawaratan/Perwakilan  Rakyat. Sistem penghitungannya dengan menggunakan model stelsel daftar atau pembagian total suara  dari masing-masing wilayah dibagi dengan electoral quotient.  Pemilu 1977 jumlah kursi dan peruntukkannya sama dengan pemilu 1971 sebanyak 460 kursi  dan Hasil akhir nya dimenangkan Golkar dengan perolehan 39.750.096 suara dan 232 kursi di Parlemen. Pemilu 1982 sistem pemilu yang digunakan adalah  sistem proporsional dengan daftar calon tertutup dan dasar hukumnya adalah  UU No 2 Tahun 1980 tentang perubahan atas UU No 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun    1969    tentang    Pemilihan    Umum    Anggota    Badan Permusyawaratan/Perwakilan  Rakyat. Hari pemungutan suara pemilu 1982 pada hari Selasa, 4 Mei 1982 dan diikuti oleh 3 peserta pemilu yaitu PPP, PDIP dan Golkar. Penghitungan perolehan kursi menggunakan metode  stelsel daftar atau pembagian total suara dari masing-masing wilayah dibagi dengan electoral quotient. Ada 460  kursi Parlemen yang diperebutkan dalam pemilu 1982 dengan rincian 364 dipilih langsung oleh rakyat dan 96 diangkat oleh Presiden dan hasil akhirnya kembali dimenangkan Golkar dengan perolehan 48.334.724 suara dan 242 kursi di Parlemen. Pemilu 1987 menajdi pemilu  keempat pada masa Orde Baru yang  dilaksanakan pada hari Kamis, 23 April 1987 berdasarkan  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 1975 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota  Badan  Permusyawaratan/Perwakilan  Rakyat. Sistem Pemilu yang digunakan di pemilu 1987  adalah sistem proporsional dengan daftar calon tertutup yang diikuti oleh 3 peserta pemilu. Jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 500 kursi dengan rincian 400  dipilih langsung oleh  rakyat  dan  100  anggota  diangkat  oleh  Presiden. Golkar sebagai pemenang pemilu 1987 dengan perolehan 62.783.680  suara dan mendapatkan 299 kursi di Parlemen. Pemilu 1992 menganut sistem pemilu proporsional dengan daftar calon tertutup yang diikuti 3 peserta pemilu dan UU Nomor 1 Tahun 1985  tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 1980 tentang Perubahan  Atas UU Nomor 4 Tahun 1975 tentang  Perubahan  Atas UU Nomor   15   Tahun   1969   tentang   Pemilihan   Umum   Anggota   Badan Permusyawaratan/Perwakilan  Rakyat sebagai dasar hukumnya. Penghitungan Perolehan kursi Parlemen dengan metode  stelsel daftar atau pembagian total suara dari masing-masing  wilayah  dibagi  dengan electoral   quotient. Hasil pemungutan suara pada hari Selasa, 9 Juni 1992 menasbihkan Golkar sebagai pemenang  dengan perolehan 66.599.331  suara  dan  282  kursi  di Parlemen. Pelaksanaan Pemilu 1997 diselenggarakan  berdasarkan Tap MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1993 tentang  Pemilu  serta  Undang-undang  Nomor  5  Tahun  1996  tentang  Pemilihan Umum. Hari pemungutan suaranya pada hari Kamis, 29 Mei 1997 dan menggunakan sistem pemilu proporsional dengan daftar calon tertutup yang diikuti oleh 3 peserta pemilu. Penghitungan Perolehan kursi Parlemen dalam pemilu 1997 dengan metode  stelsel daftar atau pembagian total suara dari masing-masing  wilayah  dibagi  dengan electoral   quotient dan pemenangnya adalah Golkar dengan perolehan 84.187.907 suara dan 325 kursi di Parlemen. Dalam penyelenggaraan pemilu, sejak 1971 sampai dengan 1997 merupakan pemilu yang dilaksanakan pada masa orde baru dan hanya memilih anggota parlemen  berdasarkan penghitungan perolehan suara dengan Electoral Quotient  yang  menunjuk pada bilangan pembagi pemilihan, yaitu suatu perbandingan (rasio) antara jumlah pemilih dengan jumlah wakil yang akan duduk dalam lembaga perwakilan yang ditentukan dalam lembaga perwakilan yang ditentukan dalam perundang-undangan. Sistem Pemilu yang digunakan dalam pemilu 1999 adalah sistem proporsional  dengan  daftar  calon  tertutup  dengan jumlah peserta pemilu sebanyak 48  partai  politik. Indra Pahlevi dalam tulisan dijurnal berjudul “Dinamika Sistem Pemilu Masa Transisi Indonesia” menjelaskan bahwa Pemilu 1999 belum ada daftar nama calon dalam surat suara dikarenakan masih menggunakan sistem closed list sistem dan pemilih hanya memilih patai politik. Hari pemungutan suara dalam pemilu 1999 pada Senin, 7 Juni 199 dan mekanisme Penghitungan perolehan kursi menggunakan ketentuan yang diatur dalam Pasal  4  ayat  (1)  UU  Nomor  3  Tahun  1999 tentang Pemilu bahwa Jumlah kursi anggota DPR RI untuk setiap Daerah Pemilihan ditetapkan berdasarkan pada jumlah penduduk di setiap daerah tingkat I dengan ketentuan setiap daerah tingkat II mendapat sekurang-kurangnya  1 (satu) kursi. Hasil pemilu 1999 ada 21 Parpol yang memndapatkan kursi di DPR RI dan  PDIP mendapatkan 154 kursi  dengan perolehan suara sabanyak 35.689.073 suara. Penyelenggaraan Pemilu 2004 terdiri dari pemilihan legislatif dan pemilihan eksekutif, hari pemungutan suara untuk pemilu legislatif pada hari Senin, 5 April 2004 sedangkan pemilihan eksekutif dilaksanakan dua putaran. Pemungutan suara pemilihan presiden untuk putaran pertama diselenggarakan pada hari Senin, 5 Juli 2004, diikuti oleh 5 pasangan calon  yaitu Prof. Dr. H. M. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo (dicalonkan oleh Partai Amanat Nasional) Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. (dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan) Hj. Megawati Soekarnoputri dan K. H. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla (dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) H. Wiranto, SH. dan Ir. H. Salahuddin Wahid (dicalonkan oleh Partai Golongan Karya) Pemungutan suara untuk putaran kedua pada hari senin, 20 September 2004 untuk menentukan pemenang diatara dua pasangan calon, akhirnya dimenangkan oleh H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla dengan  perolehan 69.266.350 atau 60,62% suara. Sistem Pemilu dalam pemilu 2004  untuk memilih legislatif menggunakan sistem proporsional dengan daftar  calon terbuka dan peserta pemilu 2004 sebanyak 24 parpol. Penentuan calon terpilih  diatur dalam pasal 105  UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD , yang berbunyi Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas seluruh hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1), Pasal 100 ayat (1), dan Pasal 101 ayat (3). Dari hasil penghitungan seluruh suara sah yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan angka BPP dengan cara membagi jumlah suara sah  seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Pemilu 2004 jumlah parpol yang mendapatkan kursi DPR RI sebanyak 16 parpol  dengan mekanisme penghitungannya diatur dalam pasal 105 dan 106 UU No 12 Tahun 2003 dengan menggunakan  Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP) yaitu  bilangan yang diperoleh dari hasil pembagian jumlah suara sah dengan jumlah kursi di daerah pemilihan untuk menentukan jumlah perolehan kursi partai politik peserta Pemilu. Hasil akhir  pemilihan  legislatif  2004  dimenangkan  partai  Golkar  dengan  perolehan 128  kursi dan 24.461.104  suara, Pemilu 2009 diselenggarakan untuk memilih legislatif pada hari Kamis, 9 April 2009 dan untuk memilih eksekutif pada  hari Rabu, 8 Juli 2009. UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menjadi dasar pelaksanaan pemilu legislatif yang mengatur penetapan jumlah kursi  berdasarkan BPP, sistem  proporsional  dengan  daftar  calon  terbuka dan Parliamentary Threshold (ambang batas perolehan suara) sebagaimana diatur dalam pasal 202 UU Nomor 10 Tahun 2008, yang berbunyi : Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Peserta Pemilu 2009 diikuti oleh 38 partai nasional, dan  setelah ditetapakan perolehan suaranya hanya 9 partai politik yang memenuhi ambang batas dan memiliki kursi di DPR RI. partai Demokrat  menjadi partai pemenang untuk Pemilihan legislatif 2009  dengan perolehan 21.703.137 suara dan 148 kursi di DPR. Pemilu untuk memilih presiden diikuti oleh 3 paslon dan dilaksanakan satu putaran saja, dikarenakan telah memenuhi syarat 50% suara yang diperoleh pasangan SBY-Boediono dengan prosentase 60,8 % (73.847.562 suara) berdasarkan  Undang-undang  Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Rabu, 9 April 2014 dilaksanakan pemilihan legislatif yang berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2013 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan pemilu 2014 yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2013 antara lain: untuk  dapat  menjadi  peserta  Pemilu  mensyaratkan keterlibatan 30% perwakilan perempuan sebagai pengurus partai di tingkat pusat; sistem  pemilu yang digunakan sistem  proporsional  dengan  daftar  calon terbuka; Parliamentary    Threshold /ambang batas   sebesar   3,5%  Peserta pemilu 2014 sebanyak 12 partai politik nasional dan setelah penetapan perolehan suara  yang memenuhi ambang batas 3,5 % sebanyak 10 parpol  untuk mendapatkan kursi di DPR RI. PDIP menjadi partai pemenang pemilu 2014 dengan perolehan kursi sebanyak 109 kursi dari  penghitungan suara total sebanyak 23.681.471 suara. Penyelenggaraan pemungutan suara  untuk memilih presiden dan wakil presiden dilaksanakan pada hari Rabu, 9 Juli 2014 berdasarkan  Undang-undang  Nomor  42  Tahun  2008  tentang  Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur  sistem dua putaran dan  menggunakan sistem presidential  threshold sebagai ambang batas pencalonan. Pemilu 2014 diikuti oleh 2 paslon dan berjalan hanya 1 putaran untuk kemenangan pasangan  Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan perolehan 70.997.833 suara atau 53,15%. Pemilu Tahun 2019 diselenggarakan dalam keserentakan waktu pemungutan suara untuk memilih legislatif dan eksekutif pada hari yang sama yaitu Rabu, 17 April 2019. Dasar hukum pelaksanaan keserentakan pemilu 2019, berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 hasil pengujian  UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden terhadap UUD 1945. Dalam PMK Nomor 14/2013, Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa keserentakan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif memperhatikan keterkaitan antara sistem pemilihan dan  sistem pemerintahan presidensial. UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi penguat dasar keserentakan pemilu, sistem pemilu proporsional terbuka dan ambang batas parlemen  4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.  Peserta Pemilu 2019 diikuti  14 partai politik dan hanya 9 partai yang mendapatkan kursi di DPR RI dengan  PDI Perjuangan menjadi parpol pemenangnya dengan  perolehan 27.053.961 suara dan mendapatkan 128 kursi di DPR RI, sedangkan  hasil pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dimenangkan pasangan Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin dengan perolehan 85.607.362 suara atau 55,50%. Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2024 landasan hukumnya sama dengan penyelenggaraan Pemilu serentak tahun 2019 yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017 sehingga pengaturan sistem pemilu untuk legislatif masih menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka sesuai pasal 168 (2) dan ambang batas parlemennya masih 4 % sesuai pasal 414 (1). Hasil akhir Pemilu serentak  2024 untuk memilih paslon presiden  dan wakil presiden  berdasarkan berita acara KPU nomor 218/PL.01.08-BA/05/2024 memutuskan   Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi Raka memperoleh 96.214.691 suara atau 58 %.  pemilu 2024 diikuti oleh 18 parpol dan Hasil rekapitulasi perolehan suara memenuhi ambang batas hanya 8 parpol, sedangkan parpol pemenangnya diraih oleh PDI Perjuangan  dengan perolehan 25.387.279 suara atau 16,72 %. Berdasarkan penjelasan perjalanan penyelenggaraan pemilu  di Indonesia diatas maka dapat dipetakan bahwa sistem pemilu dalam pemilihan legislatif  yang digunakan adalah sistem proposional dengan variasinya, yaitu Sistem Pemilihan Proporsional Tertutup dipergunakan dalam pemilu 1955,  1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999 Sistem Pemilihan Proporsional Terbuka dipergunakan dalam pemilu 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024 KPU Kabupaten Bantul bekerjasama dengan Fisipol UMY melakukan  Kajian Teknis kepemiluan bersama 18 Parpol peserta pemilu 2024 dan menghadirkan dua pemantik diskusi yaitu Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, MA dan Prof. Iwan Satriawan, SH., MCL, PhD pada hari Sabtu, 19 Juli 2025 di Gedung Fisipol UMY.  Subtansi kajian teknis kepemiluan terkait dengan sistem proposional terbuka yang digunakan dalam Pemilu Serentak 2024 berdasarkan pasal Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa “Pemilu untuk memilih DPR, DPRDProvinsi, DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”. Prof. Iwan Satriawan, SH., MCL, PhD menyampaikan dalam paparan evaluasinya bahwa ada kegamangan dalam penggunaan sistem pemilu  proporsional dalam pemilu Indonesia dikarenakan etika aktor politik yang memanfaatkan kelemahan sistem pemilu tersebut. Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, MA menguatkan apa yang disampaikan Prof. Iwan dengan  menyampaikan Analisa  hasil riset dari 300 responden terkait sistem proporsional tertutup atau Closed-List Proportional Representation (CLPR) dan Sistem Proporsional terbuka atau Open-List Proportional Representation (OLPR). Evaluasi terhadap sistem CLPR menunjukkan bahwa sistem ini memiliki kekuatan internal lebih besar, tetapi menghadapi ancaman besar dari eksternal, terutama terkait potensi dominasi oligarki partai. Dalam sistem ini, pemilih tak mempunyai peluang mempengaruhi keterpilihan caleg, masyarakat tidak mengenal caleg yang mewakili aspirasi mereka, potensi caleg perempuan dipilih kecil dan tidak terbangun komitmen langsung antara caleg dan masyarakat. dikarenakan  penentuan calon legislatif terpilih sepenuhnya berada di tangan partai politik. Sedangkan Sistem OLPR memiliki kelemahan internal yang lebih besar dibandingkan kekuatannya, tetapi secara eksternal memiliki keseimbangan antara peluang dan ancaman. Sistem ini memberikan kesempatan bagi Masyarakat untuk mempengaruhi keterpilihan caleg secara langsung, ada potensi besar terjadinya Pendidikan politik ke masyarakat. sistem OLPR masih memiliki aspek positif, khususnya dalam hal keterbukaan. Kedua sistem CLPR dan OLPR tersebut sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan. Hanya saja, Analisa dengan metode SWOT dan pendekatan  teori embedded democracy (konsolidasi demokrasi)  menunjukkan, bahwa sistem OLPR jauh lebih baik ketimbang sistem CLPR. Ridho menyampaikan perlunya  sistem alternatif yang disebut Moderate List Proportional Representation (MLPR), yaitu sistem jalan tengah yang menggabungkan aspek positif dari CLPR dan OLPR atau  agar tidak terjebak pada dua dikotomi sistem ekstrem: CLPR yang terlalu menggantungkan intervensi partai (party-centered politics) dan OLPR yang terlalu menggantungkan kekuatan sosok kandidat (candidate-centered politics).  Tawaran rumusan hitung kursi dalam sistem MLPR disimulasikan sebagai berikut Jika suara caleg melebihi suara partainya, caleg tersebut berhak memperoleh kursi sepanjang suara partai memenuhi ambang batas parlemen (Ini intervensi sistem OLPR); Jika suara caleg lebih sedikit dari suara partai, caleg dengan nomor urut terkecil berpotensi besar terpilih (ini intervensi sistem CLPR); Jika partai mendapatkan 2 alokasi kursi di dapil tertentu, sementara ada 1 caleg yang perolehan suaranya melebihi suara partainya, kursi tersebut otomatis menjadi miliknya. Sedangkan jika suara caleg yang kedua tidak melebihi suara partai, maka kursi tersebut ditentukan berdasarkan nomor urut terkecil yang berpotensi terpilih. Disinilah “proses jalan tengah” berfungsi/bekerja; Jika caleg no urut 1 sudah dapat kursi karena perolehan suaranya lebih tinggi dari suara partai, sementara untuk kursi kedua tidak ada suara caleg yang melebihi suara partai, maka no urut 2 berpotensi terpilih (prinsip CLPR: no urut terkecil). Suara pemilih tetap dianggap sah jika pemilih memilih 1 daftar nama caleg dan juga memilih 1 lambang partai dalam satu partai yang sama. Penghitungan suaranya : ½ suara untuk partai dan ½ suara untuk caleg. Suara total tiap partai memungkinkan adanya angka setelah koma, missal : 147,5 suara   Pasca paparan dua narasumber, Sarmuji perwakilan dari PKS menyampaikan bahwa sistem MPLR secara aplikatif akan menyulitkan KPPS dikarenakan ada penilaian ½ dalam penghitungan peroleha suara, yang dimungkinkan terjadi kesalahan saat rekap penghitungan, selanjutnya sarmuji menjelaskan potensi kader  yang tidak mau maju dalam pencalonan dengan penggunaan sistem proposional tertutup murni dikarenakan selama ini  untuk persiapan pemilu penyiapan logistik dilakukan oleh parpol dengan menghimpun dari seluruh kader bukan hanya pengurus untuk menghindari elit internal partai. Patra perwakilan Gerindra, masih meragukan sistem MPLR dapat menjadi jalan tengah terhadap maraknya  politik uang dan meminimalkan ongkos politik yang harus di tanggung oleh caleg dalam pemilu karena  faktanya ongkos politik selalu meningkat dari pemilu ke pemilu. Isu ongkos politik mahal disampaikan oleh Jumakir perwakilan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), fakta banyak anggota dewan terpilih yang mbrambangi (sedih) pasca pemilu dikarenakan nilai SK yang digadaikan ke bank hanya dinilai 1,2 Miliar padahal ongkos politik yang dikeluarkan melebihi angka tersebut. Pilihan sistem pemilu apakah menggunakan proposional terbuka atau tertutup, yang terpenting adalah memahamkan masyarakat untuk sadar politik dalam proses pemilu berkala, termasuk perlunya mengganti diksi “pesta demokrasi” dengan “musyawarah masyarakat” dengan tujuan mereduksi istilah pesta yang terkesan selalu menghamburkan uang.  Perwakilan Golkar Widodo, menceritakan pengalaman  pencalonannya  dengan  sistem proposional terbuka sejak tahun 2004 hingga 2024 dalam 5 kesempatan pencalonan, Widodo menjadi anggota DPRD Bantul pada periode 2014 -2019, Pemilu 2019 menurut Widodo menjadi pemilu dengan anggota dewan terpilihnya memiliki amunisi (ongkos) politik yang besar dan pengalaman empirisnya bahwa  masyarakat saat itu selalu meminta pembangunan fisik atau sejumlah uang setiap ada caleg berkampanye yang membuat biaya politiknya makin besar. Perwakilan PDIP, Adip  menyampaikan usulan kombinasi sistem pemilu  untuk memilih legislatif yaitu  untuk jenis pemilu DPR RI menggunakan sistem proporsional terbuka dan untuk jenis pemilu DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota menggunakan sistem  proposional tertutup, hal ini untuk menguatkan sistem pengkaderan parpol mulai tingkat bawah dan disiapkan menjadi petarung dalam sistem proposional tebuka di tingkat pusat. Salsa Aurelia perwakilan PAN, berpendapat bahwa sisitem proposional terbuka saat ini memberikan ruang bagi generasi muda untuk berkiprah dalam ranah politik sehingga potensi orang muda dalam pengambilan kebijakan terakomodir.  Hasan wakil dari Gelora menyoroti kewenangan pimpinan parpol tingkat pusat  dalam pengelolaan calon legislatif Tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota  melalui SIPOL dan SILON serta Putusan MK No 135 Tahun 2025 yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu lokal  akan berdampak pada pencalonan di pemilu 2029. Gusvan Perwakilan Partai Garuda menegaskan bahwa sistem proporsional terbuka memang perlu untuk di perkuat dengan cara  mereduksi atau meminamalisir kelemahan sistem tersebut, sedangkan Perwakilan Partai Buruh, Azis  optimis terhadap sistem pemilu MLPR yang ditawarkan tentu dengan memperkuat hal-hal teknis pelaksanaannya.  Didik Ketua Bawaslu Bantul memberikan beberapa catatan terhadap Sistem MLPR yaitu pertama, perlu adanya alternatif rumusan penghitungan MLPR yang ada di level  KPPS dan saksi baik berupa indeks, interval atau hal lainnya untuk memudahkan proses koreksi secara berjenjang ; kedua, ada ruang penguatan bagi parpol untuk memahami MLPR untuk melakukan pengujian terhadap PMK No 135/2025; ketiga, perlu penguatan sistem MLPR di Penyelenggara pemilu untuk melakukan simulasi dan mendapatkan masukan secara komperhensif untuk pelaksanaan teknisnya, Hal senada disampaikan oleh Diwangkara, staff KPU Bantul  bahwa perlu ujicoba untuk teknis pelasksanaan sistem MLPR.  Setelah pelaksanaan kajian, KPU Bantul akan melakukan penyusunan narasi dari proses diskusi  banyak pihak kedalam satu dokuemen untuk dikirimkan ke KPU RI. Rekam Proses kajian Sistem pemilu Kerjasama KPU Bantul dan Fisipol UMY  dapat diakses di kanal youtube KPU Bantul melalui link https://www.youtube.com/watch?v=EpaqPLmnR9g&t=11684s. Penulis secara pribadi mengucapkan terimakasih kepada UMY khususnya FISIPOL  atas kerjsamanya dan kepada peserta kajian dari unsur 18 Parpol Tingkat Kabupaten Bantul, Bawaslu Bantul dan KPU Daerah Istimewa Yogyakarta serta Sekretariat KPU Bantul atas terselenggaranya acara dengan optimal dan membahagiakan. #SALAM HAN 23 JULI 2025

PENGANTAR KOLABORASI KAJIAN SISTEM PEMILU ANTARA KPU BANTUL DAN FISIPOL UMY BERBASIS PENGALAMAN FAKTA LAPANGAN PARPOL TINGKAT KABUPATEN BANTUL

  KPU melalui Surat Dinas Nomor 1109 Tahun 2025 tertanggal 26 Juni 2025 memberikan arahan bagi KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kegiatan pasca pemilu dan pemilihan. Kegiatan penyusunan kajian teknis  berbasis pengalaman langsung penyelenggaraan pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024 menjadi salah satu arahan yang harus dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota dalam rentang  waktu Juli  sampai dengan September 2025. Pilihan tema yang ditawarkan untuk kajian teknis terdiri dari : 1) Sistem pemilu; 2) Penataan daerah pemilihan; 3) Metode verifikasi parpol calon peserta pemilu; 4) Desain surat suara; 5) pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Presiden dan Wakil Presiden serta kepala daerah; 6) Kampanye dan Dana Kampanye; 7) Prosedur dan teknologi Informasi dalam pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara yang meliputi : Early Voting, e/i-Voting, e/i-Cpounting dan e/i-recapitulation. Ketentuan pelaksanaan kegiatan kajian teknis yang diatur dalam SD KPU No 1109/2025 mengatur bahwa KPU Kabupaten/kota  memilih paling sedikit dua tema dan pelaksananya dapat melakukan Kerjasama dengan pemerintah daerah atau perguruan tinggi atau lembaga swadaya Masyarakat. KPU Kabupaten Bantul berdasarkan surat dinas KPU akan melaksanakan kajian teknis terkait pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2024 bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sistem Pemilu menjadi tema pertama yang dipilih untuk dilakukan kajian dengan bentuk fokus group diskusi (FGD). Dalam kerangka acuan kerja dalam SD KPU No 1109/2025 untuk tema kajian sistem pemilu dijelaskan untuk menemukan sistem pemilu yang cocok dengan Indonesia,  bahwa ada kemungkinan sistem pemilu campuran yang menggabungkan sistem proporsional dan sistem pemilu distrik (mayoritas) dapat digunakan di Indonesia dengan pertimbangan menciptakan keseimbangan antara partai politik dengan calon yang diajukan serta memperkuat sistem presidensial Indonesia. Dicontohkan dalam Surat Dinas, negara yang menggunakan sistem pemilu campuran yaitu Negara Jerman Dimana pemilih memilih anggota parlemen dengan dua suara. Suara pertama adalah untuk memilih kandidat langsung dan suara kedua digunakan untuk memilih daftar partai disetiap negara bagian sesuai yang telah ditetapkan oleh kaukus partai masing-masing.  Pemilu serentak tahun 2024, sistem pemilu yang digunakan sesuai dengan  Pasal 168 ayat (2) UU No 7 Tahun 2017 berbunyi  bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka atau sistem perwakilan berimbang daftar terbuka. Dalam Buku Sistem Pemilu Indonesia yang ditulis oleh Ridho dkk, dijelaskan bahwa Sistem pemilu perwakilan berimbang sering disebut dengan Proportional Representation (PR), dimana kemenangan calon ditentukan berdasarkan pada kuota kursi  yang telah ditentukan yaitu Daerah pemilihan (Dapil). Sistem proporsional terbuka  pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK)  karena diangggap mengakibatkan peranan individu yang lebih besar dibandingkan dengan peran parpol sebagai peserta pemilu. Permohonan pemohon  ditolak dalam putusan MK NO 114/PUU-XX/2022 yang berdampak sistem proporsional terbuka tetap digunakan dalam pemilu 2024. Dalil pemohon tentang pengajuan perkara  Konstitusionalitas Sistem Pemilu Proporsional Terbuka disampaikan kepada MK tertanggal 1 November 2022 dan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BPRK) dengan  Nomor 114/PUU-XX/2022 pada tanggal 16 November 2022, antara lain : Bahwa norma yang mengatur mengenai norma proporsional terbuka yang mengarusutamakan perolehan suara terbanyak secara perseorangan/ individu dalam pemilihan calon anggota DPR/DPRD dalam Pemilu menyimpangi maksud dari norma-norma yang ditentukan konstitusi yaitu Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 UUD 1945 yang menerangkan bahwa anggota DPR dan DPRD dipilih dalam Pemilu, di mana pesertanya adalah partai politik. Namun, peranan partai politik terdistorsi dan terlihat samar-samar dalam sistem pemilihan yang berdasarkan “suara terbanyak berdasarkan nomor urut dan nama calon”. sistem proporsional terbuka menimbulkan persaingan yang tidak sehat yang menitikberatkan pada aspek popularitas dan kekuatan modal dalam proses pemilihan umum. Hal ini karena tidak adanya saringan yang baik dalam proses pencalonan anggota DPR/DPRD. Apabila sistem proporsional tertutup diterapkan, maka kader-kader yang sudah berpengalaman di kepartaian memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi anggota DPR dan DPRD meskipun tidak memiliki kekuatan modal dan popularitas. Walaupun dalam struktur kepemimpinan nasional partai politik menentukan siapa saja yang dapat diusulkan menjadi calon anggota legislatif, namun pada kenyataannya partai politik akan terdorong mencari calon yang memiliki modal dana besar dan populer. Hal ini terbukti dari 3 kali Pemilu sejak ditetapkannya sistem proporsional terbuka sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak ini telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya modal “populer dan menjual diri” tanpa ikatan dengan ideologi dan struktur partai politik, tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik, namun mewakili dirinya sendiri. Oleh karena itu seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai; Format proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik atau “persaingan bebas”, yakni menempatkan kemenangan individual yang total dalam Pemilu. Padahal seharusnya kompetisi terjadi antar partai politik di arena Pemilu. Sebab peserta Pemilu adalah partai politik bukan individu sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945; sistem pemilu proporsional terbuka telah melawan arus kebiasaan pilihan sistem pemilu proporsional. Kebanyakan penerapan sistem proporsional di dunia memakai varian daftar tertutup (closed list of proportional representation), artinya bahwa urutan Caleg yang dipilih berdasarkan daftar urut yang ditentukan oleh partai politik melalui seleksi ketat dan demokratis di internal partai politik. Sistem ini ditujukan untuk memperkuat sistem kepartaian. (Ramlan Surbakti dalam Widya P. Setyanto dan Halomoan Pulungan, 2009); sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak  telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal (high cost). Sistem pemilu proporsional terbuka berbasis penentuan berdasarkan suara terbanyak ini telah menciptakan model kompetisi antar Caleg dalam pemilu yang tak sehat. Itulah sebabnya orientasi meraih suara terbanyak telah mendorong Caleg melakukan kecurangan, seperti pembagian uang (money politics) ke pemilih agar dipilih dalam pemungutan suara. Hal ini menyebabkan pemilih bersifat pragmatis dan materialistis dalam memilih caleg. Politik uang ini juga termasuk pemberian uang ke panitia penyelenggara pemilihan; Bahwa sistem pemilu proporsional terbuka ini hanya menguntungkan individu yang memiliki uang banyak dan tidak ada kompetisi yang sehat antara pengurus partai dan para caleg pragmatis tapi bermodal banyak. Menurut pemohon di sinilah terdapat korelasi yang cukup kuat mengapa korupsi politik (political corruption) menguat pasca pemilu di Indonesia. Karena para Anggota DPR dan DPRD harus mengembalikan modal uang yang dikeluarkan saat berkompetisi dalam pemilu. Materialisme ini tentu dapat merusak sistem demokrasi; Sistem proporsional terbuka melemahkan identitas kepartaian (Party Identity/Party-ID). Ini adalah mengenai identitas yang bisa menguatkan demokrasi. Identifikasi diri dengan partai adalah perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya. Survei nasional yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada bulan Februari 2021, menunjukkan bahwa party identity masyarakat Indonesia rendah. Hal ini melahirkan fenomena anti partai politik atau deparpolisasi (party dealignment). Deparpolisasi membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap partai (Roberto Biorcio dan Renato Mannheimer, 1995. Berdasarkan dalil pemohon diatas, bahwa ada kegundahan  mengenai sistem pemilu perwakilan berimbang daftar terbuka (Open List Proportional Representation) yang perlu dilakukan kajian bersama untuk menghasilkan solusi terbaik di tengah muncul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang  pemisahan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Untuk mengkaji hal ini  KPU Bantul berkolaborasi dengan  Fisipol UMY melakukan FGD dengan mengundang  Bawaslu Bantul dan 18 Parpol peserta pemilu 2024 tingkat Kabupaten Bantul. Kajian bertema Sistem Pemilu  akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 19 Juli 2025, Pukul 08.45 WIB di Kampus UMY. (ditulis: Mestri Widodo- Alumnus Jurusan  Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY).

MOMENTUM MASA PENGENALAN LINGKUNGAN SATUAN PENDIDIKAN: MENGUATKAN HAK PARTISIPASI ANAK DALAM PRAKTEK DEMOKRASI

Menyambut tahun ajaran baru 2025/2026, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah  (kemendikdasmen) meluncurkan program Masa Pengenalan Lingkungan Satuan Pendidikan  Ramah disingkat MPLS Ramah. Abdul Muti Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) menjelaskan bahwa MPLS Ramah merupakan kegiatan pertama bagi murid baru yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk menumbuhkan dan memperkuat karakter serta profil lulusan melalui pengenalan warga, kurikulum, dan lingkungan yang dirancang dengan memuliakan dan menghormati hak anak melalui pemberian pengalaman belajar yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan untuk memperkuat karakter dan profil lulusan. MPLS Ramah yang digagas oleh kemendikdasmen dilaksanakan di tiap sekolah selama lima hari sesuai dengan  Surat Edaran Mendikdasmen No 10 Tahun 2025 Tentang Pelaksanaan Kegiatan MPLS Ramah pada Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Tahun ajaran 2025/2026 tertanggal 4 Juli 2025. MPLS Ramah menjadi salah satu  implementasi Asta Cita Kabinet Indonesia Maju pada poin kedelapan memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas. Sejalan dengan Program MPLS Ramah yang dilaksanakan pada bulan Juli tahun 2025, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan melaksanakan kegiatan peringatan Hari Anak Nasional (HAN) ke 41  Tahun 2025 pada hari Rabu, 23 Juli 2025.  Anak menjadi lokus sasaran kegiatan dua  kementerian untuk mewujudkan generasi Indonesia Emas Tahun 2045. Salah satu poin penting yang saling menguatkan Program MPLS Ramah dan Peringatan HAN adalah menghormati hak anak dan rancangan kegiatannya  difokuskan untuk mewujudkan mandat Pasal 28 huruf B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi, "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pemenuhan hak dasar anak menjadi bagian penting pedoman pelaksanaan kegiatan 2 kementerian tersebut, dalam MPLS Ramah dijelaskan  bahwa maksud memuliakan dan menghormati hak anak adalah menjamin proses  hak untuk hidup, hak tumbuh kembang, hak atas pendidikan, hak atas perlindungan, hak untuk menyampaikan pendapat, dan hak atas lingkungan yang aman dan ramah anak terwujud didalam lingkungan sekolah. Sedangkan pelaksanaan peringatan HAN dirayakan sebagai momentum penting untuk mengkampanyekan pemenuhan hak anak atas hak hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Program MPLS Ramah tahun ajaran 2025/2026 yang di laksanakan di tiap sekolah selama lima hari sejak tanggal 14  hingga 18 Juli 2025 menjadi momentum bagi  KPU Kabupaten Bantul menguatkan pemenuhan hak dasar anak salah satunya hak partisipasi. Penguatan hak partisipasi anak dalam ruang lingkup demokrasi sebagai bagian untuk mengimplementasikan Asta Cita poin pertama, yaitu  memperkokoh idelogi Pancasila, demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Bahasa dengan  rujukan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian Hak dapat diartikan sebagai bentuk dari kewenangan, suatu kekuasaan yang memungkinkan seorang individu untuk berbuat atas dasar undang-undang karena hal tersebut telah diatur serta ditentukan oleh undang-undang atau aturan tertentu. Sedangkan partisipasi menurut  akar kata nya berasal dari bahasa Latin, yaitu "pars" yang berarti bagian, dan "capere" yang berarti mengambil. Jadi, secara etimologis, partisipasi dapat diartikan sebagai "mengambil bagian" atau "ikut serta".  Secara umum, hak partisipasi merujuk pada keterlibatan aktif seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan, baik itu dalam bentuk pemikiran, tenaga, maupun sumber daya lainnya yang dijamin dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Menurut  Sastropoetro (2000), menyampaikan  Jenis-jenis partisipasi sebagai berikut: a.Partisipasi dalam pikiran, dalam hal ini partisipasi berupa mengusulkan pendapat dan merencanakan berbagai kegiatan demi kesuksesan suatu kegiatan/program; b. Partisipasi dalam tenaga, partisipasi ini dapat berupa sumbangsih tenaga yang diberikan oleh sebagian atau seluruh masyarakat sehingga suatu kegiatan /program dapat berjalan lancar. c. Partisipasi dalam keahlian, bentuk partisipasi ini adalah berdasarkan dari tingkat keahlian, keterampilan, pendidikan, dan pekerjaan yang dimiliki oleh sebagian atau seluruh masyarakat. Menguatkan Hak Partisipasi Anak dalam praktek demokrasi disekolah menjadi tanggungjawab bersama termasuk KPU Kabupaten Bantul. Sinergi semua pihak mensukseskan kegiatan MPLS  Ramah, Peringatan HAN dan penguatan demokrasi dalam satuan Pendidikan untuk mewujudkan pemenuhan hak partisipasi  menjadi keharusan. Misi KPU Bantul dalam pelibatan di MPLS Ramah di Sekolah Tingkat SLTP dan SLTA di Kabupaten Bantul, memberikan  materi Pendidikan politik kepada anak (siswa) tentang pentingnya partisipatif  dalam perwujudan demokrasi. Dimulai dari konsep dasar demokrasi dengan menggunakan metode brainstorming (curah pendapat) yang menerapkan prinsip pendidikan orang dewasa (POD). Pelibatan siswa dalam menjawab pertanyaan pengungkit dari KPU Bantul (fasilitator)  menjadi hal penting untuk mendorong siswa menyuarakan pengalaman dan pengetahuan yang telah mereka dapatkan tentang demokrasi.  Teknik pengungkit partisipasi menggunakan  5W+1H yaitu What (Apa), Who (Siapa), When (Kapan), Where (Di mana), Why (Mengapa), dan How (Bagaimana). Bentuk pertanyaan pengukit yang diajukan ke kelas /Forum siswa saat sesi KPU Bantul , sebagai berikut : apa itu demokrasi ? siapa aktor demokrasi ? kapan demokrasi digunakan ? dimana demokrasi bisa digunakan ? mengapa demokrasi perlu dilakukan ? bagaimana praktek demokrasi di sekolah, berikan contohnya? Metode KPU Bantul dalam penyampaian materi dalam MPLS Ramah sejalan dengan maksud tujuan peringatan HAN di satuan Pendidikan  Tahun 2025 yaitu “ Mendorong Suara Anak” dengan mengharuskan tersedianya sarana atau forum ruang diskusi terbuka di satuan pendidikan agar siswa dapat menyampaikan ide, harapan, dan masukan terkait lingkungan satuan pendidikan atau isu-isu yang mereka hadapi. Fasilitator KPU Bantul menyampaikan salah satu praktek demokrasi dan sesuai dengan  nilai-nilai Pancasila adalah penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024. Partisipasi langsung oleh rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD dan DPRD, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil walikota telah dijamin dalam UUD NRI 1945, dalam beberapa pasal antara lain Pasal 6A ayat (1) berbunyi bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; Pasal 18 ayat (3) berbunyi bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilu; Pasal 18 ayat (4) berbunyi bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pasal 19 ayat (10 berbunyi bahwa anggota DPR dipilih melalui Pemilu; Pasal 22C ayat (1) berbunyi bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilu; Pasal 22 E ayat (2) berbunyi Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. Praktek Demokrasi untuk penguatan hak partisipasi anak dalam satuan pendidikan (sekolah), dapat dilakukan dalam pemilihan ketua osis sekolah (PEMILOS) atau Pemilihan Ketua Osis Madrasah (PEMILOM). Siswa adalah anggota masyarakat sekolah yang mempunyai hak untuk secara bebas mengekspresikan pemikiran, pandangan dan opini mereka, serta berpartisipasi dalam kegiatan disekolah. Pemilos/Pemilom (pemilos/m) merupakan miniatur penyelenggaraan pemilu dan pemilihan yang sesungguhnya (diselenggarakan KPU) dan partisipasi anak/siswa dalam  menjalankan peran sebagai penyelenggara, peserta dan pemilih dalam kegiatan demokrasi di tingkat sekolah menjadi hal vital (utama). Pemilos/m sebagai perwujudan hak partisipasi dalam praktek demokrasi di sekolah melibatkan seluruh siswa dalam lingkungan sekolah mulai dari pemilih, Panitia Pemilihan OSIS (PPO)- Setiap sekolah ada 3 orang PPO;  Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih)-Setiap kelas  ada 1 Pantarlih;  Petugas Ketertiban TPS (Setiap TPS ada 2 siswa); Pengawas TPS (Setiap TPS ada 1 siswa); Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Proses learning by doing tentang proses demokrasi untuk menghadirkan pemimpin di sekolah dalam kegiatan Pemilos/m terselenggara secara serentak sejak Tahun 2015 hasil kolaborasi banyak pihak . Embrio pemilos Kabupaten Bantul dimulai dari kelas pemilu Tahun 2011 di tingkat SMA/SMK/MA dan keserentakkan pemilos Tingkat SLTA pertama kali  di tahun 2015. Sedangkan untuk jenjang SLTP, pemilos mulai diselenggarakan tahun 2017. Tahapan dalam Pemilos/m Serentak diinisiasi oleh KPU Bantul sesuai dengan tahapan pemilu, terdiri dari: Penyusunan Rencana Kegiatan dan Anggaran Penyusunan Regulasi Pembentukan Penyelenggara Pemutakhiran dan Penyusunan Daftar Pemilih Pencalonan Kampanye Pemungutan dan Penghitungan Suara Rekapitulasi Perolehan Hasil Suara Pelantikan Pasangan Calon Terpilih Penguatan materi Hak Partisipasi Anak Dalam Praktek Demokrasi di kegiatan MPLS Ramah oleh KPU Bantul diakhiri dengan menyanyikan lagu, untuk menegaskan bahwa harus menjaga semangat Kebhinekaan Tunggal Ika (berbeda beda tetap satu jua) dan menjaga persaudaraan walau beda pilihan dalam pemilihan: Di sini teman di sana teman, Di mana-mana kita berteman Tak ada musuh tak ada lawan, semuanya saling menyayangi, Tidak ejek-ejekan, Tidak pukul-pukulan Saling tolong dan sayang dengan teman Tulisan ditulis untuk mengikat proses penguatan demokrasi yang dilakukan oleh KPU Bantul dalam masa MPLS Ramah dan Peringatan HAN yang momentumnya di Bulan Juli 2025. Mari bersama sama mewujudkan pemenuhan Hak Dasar Anak  (Hak Hidup, Hak Tumbuh Kembang, Hak Perlindungan dan Hak Partisipasi dimomentum Hari Jadi Kabupaten Bantul ke 194 di Tahun 2025. Semoga terwujud tiga karakter pondasi sumber daya manusia yang unggul di Bantul yaitu “Waras, Wasis, Waskita”  sehat secara jasmani dan rohani (waras), cerdas dan terampil (wasis), serta bijaksana dalam berpikir dan bertindak (waskita). (ditulis oleh Mestri Widodo- ayah Shanum Mafaza Aixa (Peserta MPLS Ramah di DMUSER )

HASIL PEMUTAKHIRAN DATA PARTAI POLITIK (PARPOL) BERKELANJUTAN MELALUI SISTEM INFORMASI PARTAI POLITIK (SIPOL) PERIODE SEMESTER 1 TAHUN 2025 DI KABUPATEN BANTUL

Kegiatan pemutakhiran data parpol berkelanjutan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Pendaftaran, Verifikasi Dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kegiatan pemutakhiran data parpol yang dilakukan  oleh admin parpol  melalui Sipol dengan mengakses  http://Sipol.kpu.go.id  berupa kegiatan yang telah diatur dalam pasal 146 PKPU Nomor 4 Tahun 2022 dan diatur dengan jelas dalam Keputusan KPU Nomor 658 Tahun 2024, berupa penambahan, perbaikan dan penghapusan data di setiap tingkatan parpol berdasarkan kewenangan yang diatur oleh parpol tingkat pusat. Pemutakhiran Partai politik menjadi hal penting untuk menguatkan proses peran parpol  sebagai  perwujudan negara demokratis. Parpol menjadi instrument terwujudnya  hak warga negara yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Pasal 28  dan Pasal 28 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan Jaminan Warga Negara Indonesia  untuk berkumpul, berapat dan berserikat serta mengeluarkan pendapat baik secara lisan dan tulisan. Pengertian parpol dalam Undang-Undang nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, menjelaskan bahwa parpol merupakan organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Definisi Parpol dalam  UU No 2 Tahun 2008 dikuatkan dengan ketentuan umum di  pasal 1 dalam PKPU No 4 Tahun 2022, berdasarkan pengertian tersebut bahwa parpol memiliki tugas untuk memperjuangkan kepentingan politik  dengan tetap menjaga  keutuhan NKRI. Dalam  sistem demokrasi di Indonesia, parpol menjadi  jembatan atau peran penghubung untuk menyampaikan kepentingan  rakyat atau warga negara secara konstitusional. Jimly Asshiddiqie dalam tulisannya tentang  partai politik dan pemilihan umum menyampaikan bahwa parpol menjadi perwujudan kedaulatan rakyat dalam UUD NRI 1945 dan sebagai perwakilan rakyat melalui sistem perwakilan  untuk menyampaikan aspirasi ragam kepentingan rakyat menjadi kebijakan negara. Mekanisme sistem perwakilan ditentukan melalui Pemilihan Umum (PEMILU), yang merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam Pemilu yang diselenggarakan secara berkala, Parpol menjadi bagian penting dikarenakan kepesertaan pemilu diwakilkan oleh parpol yang mendaftar kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan dapat  ditetapkan menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan yang diatur dalam Peraturan KPU dan peraturan perundngan-undangan. Pemutakhiran Data Parpol berkelanjutan melalui Sipol  menjadi fasilitas layanan untuk kepesertaan menjadi peserta pemilu diperiode kepemiluan untuk pemenuhan persyaratan yang dimaksud dalam PKPU No 4 Tahun 2022, antara lain Berstatus badan hukum sesuai UU 2 Tahun 2008; Memiliki kepengurusan di:  Seluruh provinsi;  75% jumlah kab/kota di provinsi ybs;  50% jumlah kecamatan di kab/kota ybs; Menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat, dan memperatikan keterwakilan perempuan 30 % pada kepengurusan tingkat  provinsi & kab/kota;   Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah Penduduk pada kepengurusan parpol kab/kota dibuktikan dengan kepemilikan KTA dan KTP Elektronik, atau Surat Keterangan; Memiliki kantor tetap kepengurusan tingkat pusat, provinsi & kab/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; Mengajukan nama, lambang & tanda gambar Partai Politik kepada KPU; dan Menyerahkan nomor rekening atas nama parpol tingkat pusat,provinsi dan kab/kota kepada KPU; Menyerahkan salinan AD/ART Parpol. Persyaratan kepengurusan dan keanggotan serta kantor tetap menjadi hal yang dimutakhirkan dalam kegiatan pemutakhiran data parpol pada semester 1 Tahun 2025 sesuai dengan  SD KPU No 1076 Tahun 2025. Empat  hal yang dimutakhirkan, yaitu 1) kepengurusan parpol pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan; 2) ketewakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota;3) keanggotaan Parpol; dan 4) domisili kantor tetap untuk kepengurusan parpol pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pemutakhiran data parpol berkelanjutan dilakukan untuk data dan dokumen parpol semua tingkatan baik tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kecamatan oleh admin sipol parpol, baik parpol peserta pemilu 2024 maupun tidak. Waktu pelaksanaan pemutakhiran dan sinkronisasi periode semester I dilakukan pada bulan Januari hingga Juni 2025 dan selanjutnya penyampaian hasil pemutakhiran tersebut  kepada KPU paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum akhir Juni 2025. Selanjutnya KPU  melakukan  verifikasi pemutakhiran data partai politik sesuai tingkatannya parpolnya dengan melibatkan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.   KPU Daerah Isitimewa Yogyakarta dalam rakor  pemutakhiran data parpol berkelanjutan menyampaikan hasil verifikasinya dari  18 parpol peserta pemilu, hanya 9 parpol yang melakukan pemutakhiran dengan rincian sebagai berikut: Partai yang  memutakhirkan data untuk kepengurusan dan PDIP,  NASDEM, PAN, PBB, PKS dan UMMAT; Partai yang  memutakhirkan  hanya data keanggotaan terdiri dari GERINDRA HANURA dan PKN. Hasil verifikasi KPU Bantul telah disampaikan kepada parpol Tingkat Kabupaten pada Senin, 7 Juli 2025, hasilnya dari 18 parpol peserta pemilu hanya 5 parpol melakukan pemutakhiran dan telah dituangkan hasil verifikasinya oleh KPU Bantul ke dalam Berita Acara tentang Rekapitulasi Hasil Verifikasi Pemutakhiran Data Partai Politik Secara Berkelanjutan melalui Sistem Informasi Partai Politik Nomor 26/PL.01.1-BA/3402/2025 sampai dengan 30/PL.01.1-BA/3402/2025 beserta lampirannya yang di generate melalui Sipol dan ditandatangani oleh Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Bantul. Lima parpol tersebut terdiri dari PKS, PAN, GERINDRA, PDIP dan UMMAT,  semuanya memutakhirkan data keanggotaan. Berdasarkan kegiatan pemutakhiran data parpol berkelanjutan melalui sipol periode semester 1 Tahun 2025 di Daerah Istemewa Yogyakarta khususnya Kabupaten Bantul dapat disimpulkan bahwa belum semua parpol melakukan pemutakhiran kepengurusan dan  keterwakilan Perempuan pada kepengurusan partai politik pada tingkat kabupaten/kota dan kecamatan, keanggotaan partai politik  dan domisili kantor tetap kepengurusan partai politik  tingkat kabupaten Bantul walaupun secara faktual sudah ada perubahan. Untuk mengoptimalkan pemutakhiran data parpol berkelanjutan melalui sipol periode Semester 2 Tahun 2025, KPU Kabupaten Bantul melakukan kegiatan pemetaan data petugas penghubung parpol tingkat Kabupaten Bantul  yang masih aktif atau sudah dihapus (dinon aktifkan) dari parpol tersebut. Rencana tindak lanjut pasca pemetaan petugas penghubung parpol, KPU Bantul akan melakukan kegiatan kajian dan FGD bertemakan kepemiluan sesuai dengan SD KPU No 1109 tahun 2025 dengan  melibatkan parpol dan membuka layanan helpdesk untuk mengkonfirmsasi bila  ada ketidaksesuaian dari Partai Politik hasil verifikasi Semester 1 dengan dinamika untuk dilakukan perbaikan /perubahan pada masa pemutakhiran dan sinkronisasi Semester 2 pada bulan Juli – Desember 2025. (ditulis : Mestri Widodo Anggota KPU Bantul dan  Ayah Mafaza Majes Maestra).

PENCALONAN JALUR PERSEORANGAN DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) SERETAK 2024

Tahapan Pencalonan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2024 terdapat  dua jalur untuk mengusulkan pasangan calon (paslon), Pertama adalah paslon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Kedua adalah paslon jalur perseorangan. Ketentuan Pencalonan untuk jalur perseorangan  dalam pilkada serentak 2024 diatur dalam pasal 41 UU No 10 Tahun 2016 bahwa syarat pencalonan jalur calon perseorangan harus memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu atau pilkada sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan. Ketentuan syarat dukungan paslon jalur perseorangan untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,  sebagai berikut Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam DPT mencapai 2 juta jiwa harus didukung paling sedikit 10 persen. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam DPT lebih dari 2-6 juta jiwa harus didukung paling sedikit 8,5 persen. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam DPT lebih dari 6-12 juta jiwa harus didukung paling sedikit 7,5 persen. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam DPT lebih dari 12 juta jiwa harus didukung paling sedikit 6,5 persen. Ketentuan syarat dukungan paslon jalur  perseorangan untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota: Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat dalam DPT mencapai 250 ribu jiwa harus didukung paling sedikit 10 persen. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat dalam DPT lebih dari 250-500 ribu jiwa harus didukung paling sedikit 8,5 persen. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat dalam DPT lebih dari 500 ribu-1 juta jiwa harus didukung paling sedikit 7,5 persen. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat dalam DPT lebih dari 1 juta jiwa harus didukung paling sedikit 6,5 persen. Ketentuan teknis untuk jalur perseorangan diatur dalam  Keputusan (KPT) KPU  Nomor 532 Tahun 2024 tentang  Pedoman Teknis Pemenuhan Syarat Dukungan Pasangan Calon Perseorangan Dalam Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota Tahun 2024. KPT No 532/2024 mengatur  Jadwal kegiatan; Persiapan Penyerahan dukungan paslon perseorangan; Penyerahan dokumen syarat dukungan; Verifikasi administrasi (vermin) dokumen syarat dukungan; Verifikasi faktual (verfak) kesatu dokumen syarat dukungan; Perbaikan dokumen syarat dukungan; Penyerahan perbaikan dokumen syarat dukungan;  Verifikasi adminitrasi perbaikan  dokumen syarat dukungan; Verifikasi faktual kedua dokumen syarat dukungan; Tanggapan atas dukungan; dan  Penetapan pemenuhan syarat dukungan. Tahapan Pencalonan Pilkada Serentak 2024 untuk jalur perseorangan dimulai dari  kegiatan pengumuman oleh 545 KPU daerah pada hari Minggu,  5 Mei 2024. Pasca kegiatan  pengumuman KPU provinsi dan Kabupaten/Kota mempersiapkan untuk menerima dokumen syarat dukungan bapaslon dalam rentang waktu  dari tanggal 8 s/d 12 Mei 2024. Update proses penerimaan dukungan paslon perseorangan dirilis oleh  KPU pada tanggal 13 Mei 2024 pukul 00.30 WIB, dengan rincian sebagai berikut : Jumlah bakal paslon yang melakukan persiapan sebanyak 242 paslon; Jumlah bakal paslon yang telah mengajukan sebanyak 71 paslon; Jumlah paslon diterima pengajuannya sebanyak 45 paslon Jumlah paslon dikembalikan pengajuannya sebanyak 3 paslon di beberapa daerah pengajuan dukungan  bakal pasangan calon (bapaslon)  masih dalam proses pemeriksaan dokumen bentuk fisik.   Verifikasi administrasi (vermin)   dokumen dukungan paslon perseorangan dilakukan oleh   KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan rentang waktu Senin, 13 Mei s/d  Rabu, 29 Mei 2024. Saat pelaksanaan kegiatan  vermin, Anggota KPU RI Divisi Teknis Penyelenggaraan Idham Holik : bahwa jumlah peminat dari jalur perseorangan di Pilkada Serentak 2024 relatif menurun dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Data menunjukan dalam Pilkada Serentak  2024, calon perseorangan yang berminat mendaftar hanya 163 dari 545 daerah yang menggelar dan  Pilkada Serentak 2020 yang digelar di 270 daerah, peminat jalur perseorangan mencapai 203 bakal pasangan calon. Kegiatan pemenuhan syarat dukungan  pencalonan jalur perseorangan sesuai dengan KPT KPU  No 532 Tahun 2024  di akhiri dengan kegiatan penetapan pemenuhan syarat dukungan dengan output berupa Keputusan  KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tentang penetapan bapaslon gubernur dan wakil gubernur/ bupati dan Wakil bupati/ walikota dan wakil walikota yang memenuhi persyaratan dukungan minimal dan sebaran dalam Pilkada Serentak Tahun 2024. KPT KPU tiap daerah menjadi dasar bagi paslon jalur perseorangan untuk  mendaftarkan menjadi Paslon Peserta Pilkada Serentak 2024  yaitu pada masa pendaftaran di KPU Provinsi dan Kabupaten/kota pada tanggal 27  s/d  29 Agustus 2024. KPU RI merilis bahwa Paslon yang mendaftarkan melalui jalur perseorangan dengan status diterima sebanyak 54 paslon dengan rincian 1 paslon untuk jenis pemilihan gubenur, 41 paslon untuk jenis pemilihan bupati dan 12 paslon untuk jenis pemilihan walikota.   Catatan  menarik disampaikan oleh Ferdana Femiliona dalam karya tulisnya yang diterbitkan dalam Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia vol 6 No 2 Mei 2025 dengan judul “Keadilan Pemilu Bagi Calon Perseorangan Kasus Pilkada Sukoharjo 2024”. Ferdana menyampaikan dalam simpulannya bahwa“Pencalonan perseorangan, dalam kerangka demokrasi, representasi politik, rekrutmen politik dan keadilan elektoral, merupakan instrumen penting untuk mencapai kesetaraan politik. dengan syarat jika negara menyediakan proses yang adil dan proporsional antara calon dari partai dan calon perseorangan serta menghapus hambatan struktural dari regulasi yang diskriminatif bagi calon perseorangan.” Hasil Penetapan Paslon Peserta Pilkada Serentak Tahun 2024 oleh KPU provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk pencalonan jalur perseorangan sebanyak  53 Paslon dari 1.553 paslon,  yang telah ditetapkan pada tanggal 22 September 2024 dan datanya dirilis oleh KPU pada tanggal 23 September 2024 pukul 08.00 WIB. Tulisan ini dibuat untuk mengikat gambaran proses pencalonan jalur perseorangan dalam Pilkada Serentak Tahun 2024. (ditulis Mestri Widodo, Anggota KPU Kabupaten Bantul Periode 2023- 2028)

BELAJAR KASUS STATUS KEWARGANEGARAN BIPATRIDE DALAM PILKADA KABUPATEN SABU RAIJUA TAHUN 2020

Kata “warga negara” secara etimologis berasal dari bangsa Romawi berbahasa Latin, yaitu kata "civis" atau "civitas" yang artinya anggota warga dari city-state. Sedangkan dalam bahasa Prancis warga negara diistilahkan "citoyen" yang bermakna warga dalam "cite" (kota yang memiliki hak-hak terbatas). Istilah warga negara yang familiar digunakan oleh masyarakat umum lebih mendekati terjemahan dari Bahasa inggris dengan kata “citizen”. Arti dari kata citizen dapat diartikan warga negara yaitu orang orang yang menjadi bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara itu sendiri. Warga negara berdasarkan Konvensi Montevideo merupakan unsur pembentuk (syarat) negara. Syarat berdirinya suatu negara hasil dari Konvensi Montevideo di Tahun 1993 terdiri dari dua unsur sebagai berikut : Unsur Konstitutif (unsur mutlak pembentuk yang harus terpenuhi), yaitu penduduk tetap wilayah, pemerintahan yang berdaulat, kemampuan menjalin hubungan internasional dengan negara lain. Unsur Deklaratif (unsur yang sifatnya menyatakan) yaitu Pengakuan dari negara lain. Unsur konstitutif “penduduk tetap” dapat diartikan dalam 2 hal, Pertama, penduduk menjadikan wilayah yang ada sebagai dasar untuk menentukan tempat tinggalnya, status penduduk dalam ikatan hukum di satu kebangsaan. Kedua, wilayah itu sebagai tempat tinggal- dapat diajukan tuntutan sebagai lingkungan tertentu. Berdasarkan dua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa penduduk tetap yang dimaksud adalah warga negara. Menurut Aristoteles, definisi mengenai warga negara (citizen) itu sering membingungkan dan menimbulkan perdebatan. Bahkan ia menyatakan “there is no general aggrement on who is a citizen”. Tidak terdapat kesepakatan umum mengenai siapa yang disebut warga negara. Selanjutnya, Aristoteles menyatakan bahwa penentuan tentang siapakah warga negara itu lebih tepat didasarkan pada rezim konstitusi atau bentuk pemerintahannya. Jadi warga negara ditentukan oleh bentuk pemerintahan. Konstitusi menentukan siapa yang menjadi warganegara. Pemikiran Aristoteles tentang Konstitusi kewarganegaraan diatas digunakan untuk menentukan status warga negara dalam suatu negara, banyak diterapkan di beberapa negara termasuk Indonesia. Penerapan status kewarganegaraan di Negara Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang telah mengalami perubahan secara subtansi pada Pasal 26 UUD 1945, hal itu dapat dilihat dari substansi sebelum dan sesudah dilakukan amandemen. Sebelum amandemen UUD1945, Pasal 26 hanya terdiri dari dua ayat yang berbunyi : Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara." Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang. Fatmawati menyampaikan dalam buku Sosiologi Perundang-undangan dan Pemanfaatannya bahwa Pasal 26 UUD 1945 sebelum amandemen, substansi pasalnya sebagai bagian dari warisan Penjajahan Belanda. Saat itu, Indonesia terbagi-bagi secara kelompok berdasarkan kelas yaitu Golongan orang pribumi pada masa penjajahan Belanda dianggap sebagai orang Indonesia asli. Sedangkan, mereka yang bukan non-pribumi dianggap bukan orang asli Indonesia. Namun, setelah Pasal 26 UUD 1945 diamandemen, berubah menjadi tiga ayat, yang berbunyi: Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan UU.. Hasil amandemen pasal 26 tersebut lebih jelas pengaturannya dalam pembagian definisi warga negara dan pengertian penduduk. Berdasarkan Mandat UUD 1945 khususnya pasal 26 hasil amandemen tersebut diatas, kebijakan pengaturan warga negara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Penjelasan umum dalam UU No.12 Tahun 2006 disampaikan, bahwa warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara yang memiliki hak dan kewajiban yang perlu dilindungi dan dijamin pelaksanaannya. Dalam UU kewarganegaraan ini, ditegaskan dalam Pasal 4 bahwa yang dapat menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), adalah: setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum UU ini berlaku sudah menjadi WNI; anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu WNI anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI Indonesia dan ibu warga negara asing (WNA); anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu WNI; anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya WNI; anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI; anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu WNI yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Syarat dan Kententuan menjadi WNI diatas, harus sesuai dengan Asas-asas kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia diatur dalam UU No 6 Tahun 2006 dan dapat dijelaskan sebagai berikut: Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dari pengaturan status kewarganegaraan dalam UU diatas, menegaskan bahwa di Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride) kecuali untuk kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak. Pengaturan kewarganegaraan di Indonesia dalam UU No 12 Tahun 2006 telah mengatur secara jelas dan rinci, termsuk pengaturan bagi perubahan status kewarganegaraan menjadi WNI dengan istilah pewarganegaraan (naturalisasi). Sedangkan bagi WNI yang mau berubah menjadi WNA, pengaturannya ada dalam UU No 23 Tahun 2006 Tentang Adminitrasi Kependudukan. Dalam tulisan yang kami susun kasus yang diangkat adalah kasus Bipatride (kewarganegaran ganda) calon Bupati Kabupaten Sabu Raijua atas nama Orient Riwu Kore dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020. Hari pemungutan dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 pada hari Rabu, 9 Desember 2020 untuk Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang diikuti oleh tiga Pasangan calon (paslon) yaitu Nikodemus dan Yohanis Uly Kale, Orient Riwu Kore dan Thobias Uly, Takem Radja Pono dan Herman Hegi Hasil pemungutan suara dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 dimenangkan oleh Paslon Orient Riwu Kore dan Thobias Uly, Namun hasil tersebut digugat oleh paslon Takem Radja Pono dan Herman Hegi serta Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi Kabupaten Sabu Raijua ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan pokok perkara status kewarganegaraan Orient Riwu Koreke. Setelah melalui proses persidangan sesuai tahapan dan jadwal, akhirnya MK memutuskan mendiskualifikasi atau membatalkan kemenangan Pasangan Calon Nomor Urut 2 Orient Riwu Kore dan Thobias Uly dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2020, Provinsi Nusa Tenggara Timur dikarenakan Orient memiliki dwi kewarganegaraan, yang tertuang dalam putusan MK Nomor 135/PHP.BUP-XIX/2021. Dalam pertimbangannya Hakim Konstitusi, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa Orient Patriot Riwu Kore mempunyai dua paspor. Dua paspor tersebut, yaitu paspor Republik Indonesia Nomor X746666 yang berlaku 1 April 2019 sampai dengan 1 April 2024 sesuai keterangan Ditjen Imigrasi Kemenkumham dan paspor Amerika Serikat Nomor 574900485 yang berlaku 10 Juli 2017 sampai dengan 9 Juli 2027. Pendapat kami terkait kasus Bipatride/kewarganegaran ganda Orient dalam Sengketa Pilkada Serentak Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, bahwa orient dengan memiliki dua paspor telah melanggar kebijakan kewarganegaraan sehingga yang bersangkutan otomatis kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Faktor yang menyebabkan Orient kehilangaan status WNI dikarenakan terbukti melanggar pasal 23 huruf a, b dan h dalam UU No 12/2006, dengan bunyi sebagai berikut: Pasal 23 huruf a, bahwa Orient memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; Pasal 23 huruf b, bahwa Orient tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; Pasal 23 huruf h, bahwa Orient mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya: Selain itu melanggar asas kewarganegaraan tunggal yang berlaku di Indonesia. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang mengharuskan seorang dewasa WNI hanya memiliki satu kewarganegaraan saja, berlaku untuk setiap orang dan tidak memperbolehkan kewarganegaraan ganda (bipatrid) eserta memiliki lebih dari satu kewarganegaraan (multipatride). Kewarganegaraan ganda dibeberapa negara bukanlah menjadi masalah, seperti Swedia, Finlandia, Chilli dan Irlandia, Namun di Indonesia akan menjadi masalah dikarenakan seseorang yang berstatus kewarganegaaan ganda berpotensi tidak mau tunduk dengan regulasi hukum yang berlaku termasuk tidak dapat dipenuhi hak haknya sebagai WNI sesuai UUD 1945. Empat asas kewarganegaraan di Indonesia yang telah diatur dalam UU No 12 Tahun 2006 yaitu asas ius sanguinis. asas ius soli, asas kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan ganda terbatas merupakan wujud perlindungan Negara Indonesia terhadap warga negaranya (WNI). Status kewarganegaraan WNI merupakan identitas seseorang sebagai warga negara untuk hidup/tinggal dan berpartisipasi dalam segala bidang di Indonesia, termasuk dalam bidang politik dengan mengikuti kontestasi dalam pemilihan kepala daerah. Status kewarganegaran ganda/bipatride dilarang di Indonesia karena berpotensi memunculkan permasalahan seperti spionase (mata mata) dan persaingan lapangan kerja. Semoga tulisan ini menjadi penguat pemahaman kita dalam mempelajari asas hukum kewarganegaraan yang berkorelasi dengan Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia.

Populer

Belum ada data.