
BELAJAR KASUS STATUS KEWARGANEGARAN BIPATRIDE DALAM PILKADA KABUPATEN SABU RAIJUA TAHUN 2020
Kata “warga negara” secara etimologis berasal dari bangsa Romawi berbahasa Latin, yaitu kata "civis" atau "civitas" yang artinya anggota warga dari city-state. Sedangkan dalam bahasa Prancis warga negara diistilahkan "citoyen" yang bermakna warga dalam "cite" (kota yang memiliki hak-hak terbatas). Istilah warga negara yang familiar digunakan oleh masyarakat umum lebih mendekati terjemahan dari Bahasa inggris dengan kata “citizen”. Arti dari kata citizen dapat diartikan warga negara yaitu orang orang yang menjadi bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara itu sendiri.
Warga negara berdasarkan Konvensi Montevideo merupakan unsur pembentuk (syarat) negara. Syarat berdirinya suatu negara hasil dari Konvensi Montevideo di Tahun 1993 terdiri dari dua unsur sebagai berikut :
- Unsur Konstitutif (unsur mutlak pembentuk yang harus terpenuhi), yaitu
- penduduk tetap
- wilayah,
- pemerintahan yang berdaulat,
- kemampuan menjalin hubungan internasional dengan negara lain.
- Unsur Deklaratif (unsur yang sifatnya menyatakan) yaitu Pengakuan dari negara lain.
Unsur konstitutif “penduduk tetap” dapat diartikan dalam 2 hal, Pertama, penduduk menjadikan wilayah yang ada sebagai dasar untuk menentukan tempat tinggalnya, status penduduk dalam ikatan hukum di satu kebangsaan. Kedua, wilayah itu sebagai tempat tinggal- dapat diajukan tuntutan sebagai lingkungan tertentu. Berdasarkan dua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa penduduk tetap yang dimaksud adalah warga negara.
Menurut Aristoteles, definisi mengenai warga negara (citizen) itu sering membingungkan dan menimbulkan perdebatan. Bahkan ia menyatakan “there is no general aggrement on who is a citizen”. Tidak terdapat kesepakatan umum mengenai siapa yang disebut warga negara. Selanjutnya, Aristoteles menyatakan bahwa penentuan tentang siapakah warga negara itu lebih tepat didasarkan pada rezim konstitusi atau bentuk pemerintahannya. Jadi warga negara ditentukan oleh bentuk pemerintahan. Konstitusi menentukan siapa yang menjadi warganegara. Pemikiran Aristoteles tentang Konstitusi kewarganegaraan diatas digunakan untuk menentukan status warga negara dalam suatu negara, banyak diterapkan di beberapa negara termasuk Indonesia.
Penerapan status kewarganegaraan di Negara Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang telah mengalami perubahan secara subtansi pada Pasal 26 UUD 1945, hal itu dapat dilihat dari substansi sebelum dan sesudah dilakukan amandemen. Sebelum amandemen UUD1945, Pasal 26 hanya terdiri dari dua ayat yang berbunyi :
- Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara."
- Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
Fatmawati menyampaikan dalam buku Sosiologi Perundang-undangan dan Pemanfaatannya bahwa Pasal 26 UUD 1945 sebelum amandemen, substansi pasalnya sebagai bagian dari warisan Penjajahan Belanda. Saat itu, Indonesia terbagi-bagi secara kelompok berdasarkan kelas yaitu Golongan orang pribumi pada masa penjajahan Belanda dianggap sebagai orang Indonesia asli. Sedangkan, mereka yang bukan non-pribumi dianggap bukan orang asli Indonesia. Namun, setelah Pasal 26 UUD 1945 diamandemen, berubah menjadi tiga ayat, yang berbunyi:
- Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara.
- Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
- Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan UU..
Hasil amandemen pasal 26 tersebut lebih jelas pengaturannya dalam pembagian definisi warga negara dan pengertian penduduk.
Berdasarkan Mandat UUD 1945 khususnya pasal 26 hasil amandemen tersebut diatas, kebijakan pengaturan warga negara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Penjelasan umum dalam UU No.12 Tahun 2006 disampaikan, bahwa warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara yang memiliki hak dan kewajiban yang perlu dilindungi dan dijamin pelaksanaannya. Dalam UU kewarganegaraan ini, ditegaskan dalam Pasal 4 bahwa yang dapat menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), adalah:
- setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum UU ini berlaku sudah menjadi WNI;
- anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu WNI
- anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI Indonesia dan ibu warga negara asing (WNA);
- anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu WNI;
- anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;
- anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya WNI;
- anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI;
- anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
- anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
- anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
- anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;
- anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu WNI yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
- anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Syarat dan Kententuan menjadi WNI diatas, harus sesuai dengan Asas-asas kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia diatur dalam UU No 6 Tahun 2006 dan dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
- Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
- Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
- Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Dari pengaturan status kewarganegaraan dalam UU diatas, menegaskan bahwa di Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride) kecuali untuk kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak.
Pengaturan kewarganegaraan di Indonesia dalam UU No 12 Tahun 2006 telah mengatur secara jelas dan rinci, termsuk pengaturan bagi perubahan status kewarganegaraan menjadi WNI dengan istilah pewarganegaraan (naturalisasi). Sedangkan bagi WNI yang mau berubah menjadi WNA, pengaturannya ada dalam UU No 23 Tahun 2006 Tentang Adminitrasi Kependudukan.
Dalam tulisan yang kami susun kasus yang diangkat adalah kasus Bipatride (kewarganegaran ganda) calon Bupati Kabupaten Sabu Raijua atas nama Orient Riwu Kore dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020.
Hari pemungutan dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 pada hari Rabu, 9 Desember 2020 untuk Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang diikuti oleh tiga Pasangan calon (paslon) yaitu
- Nikodemus dan Yohanis Uly Kale,
- Orient Riwu Kore dan Thobias Uly,
- Takem Radja Pono dan Herman Hegi
Hasil pemungutan suara dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 dimenangkan oleh Paslon Orient Riwu Kore dan Thobias Uly, Namun hasil tersebut digugat oleh paslon Takem Radja Pono dan Herman Hegi serta Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi Kabupaten Sabu Raijua ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan pokok perkara status kewarganegaraan Orient Riwu Koreke. Setelah melalui proses persidangan sesuai tahapan dan jadwal, akhirnya MK memutuskan mendiskualifikasi atau membatalkan kemenangan Pasangan Calon Nomor Urut 2 Orient Riwu Kore dan Thobias Uly dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2020, Provinsi Nusa Tenggara Timur dikarenakan Orient memiliki dwi kewarganegaraan, yang tertuang dalam putusan MK Nomor 135/PHP.BUP-XIX/2021.
Dalam pertimbangannya Hakim Konstitusi, Mahkamah menemukan fakta hukum bahwa Orient Patriot Riwu Kore mempunyai dua paspor. Dua paspor tersebut, yaitu paspor Republik Indonesia Nomor X746666 yang berlaku 1 April 2019 sampai dengan 1 April 2024 sesuai keterangan Ditjen Imigrasi Kemenkumham dan paspor Amerika Serikat Nomor 574900485 yang berlaku 10 Juli 2017 sampai dengan 9 Juli 2027.
Pendapat kami terkait kasus Bipatride/kewarganegaran ganda Orient dalam Sengketa Pilkada Serentak Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, bahwa orient dengan memiliki dua paspor telah melanggar kebijakan kewarganegaraan sehingga yang bersangkutan otomatis kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Faktor yang menyebabkan Orient kehilangaan status WNI dikarenakan terbukti melanggar pasal 23 huruf a, b dan h dalam UU No 12/2006, dengan bunyi sebagai berikut:
- Pasal 23 huruf a, bahwa Orient memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
- Pasal 23 huruf b, bahwa Orient tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
- Pasal 23 huruf h, bahwa Orient mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya:
Selain itu melanggar asas kewarganegaraan tunggal yang berlaku di Indonesia. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang mengharuskan seorang dewasa WNI hanya memiliki satu kewarganegaraan saja, berlaku untuk setiap orang dan tidak memperbolehkan kewarganegaraan ganda (bipatrid) eserta memiliki lebih dari satu kewarganegaraan (multipatride).
Kewarganegaraan ganda dibeberapa negara bukanlah menjadi masalah, seperti Swedia, Finlandia, Chilli dan Irlandia, Namun di Indonesia akan menjadi masalah dikarenakan seseorang yang berstatus kewarganegaaan ganda berpotensi tidak mau tunduk dengan regulasi hukum yang berlaku termasuk tidak dapat dipenuhi hak haknya sebagai WNI sesuai UUD 1945. Empat asas kewarganegaraan di Indonesia yang telah diatur dalam UU No 12 Tahun 2006 yaitu asas ius sanguinis. asas ius soli, asas kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan ganda terbatas merupakan wujud perlindungan Negara Indonesia terhadap warga negaranya (WNI). Status kewarganegaraan WNI merupakan identitas seseorang sebagai warga negara untuk hidup/tinggal dan berpartisipasi dalam segala bidang di Indonesia, termasuk dalam bidang politik dengan mengikuti kontestasi dalam pemilihan kepala daerah. Status kewarganegaran ganda/bipatride dilarang di Indonesia karena berpotensi memunculkan permasalahan seperti spionase (mata mata) dan persaingan lapangan kerja. Semoga tulisan ini menjadi penguat pemahaman kita dalam mempelajari asas hukum kewarganegaraan yang berkorelasi dengan Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia.