Opini

Membaca Model baru keserentakan Pemilu dan Pilkada Pasca Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 memiliki konsekuensi yang sangat signifikan terhadap desain kepemiluan di Indonesia, terutama terkait dengan keserentakan pemilu. Putusan ini memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional (pemilihan Presiden/Wakil Presiden, DPR, dan DPD) dengan pemilu lokal/daerah (pemilihan kepala daerah dan DPRD).

Dalam amar putusan yang dibacakan Mahkamah, perpandangan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan pemilihan kepala daerah berada dalam tahun yang sama, yaitu tahun 2024, berakibat terjadinya impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan sejumlah tahapan awal dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Dengan adanya fakta tersebut mahkamah beranggapan menyebabkan tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu, yang dapat mempengaruhi terhadap kualitas penyelenggaraan pemilihan umum.

Disamping fakta tersebut dalam pertimbangan hukum Mahkamah juga menyampaikan bahwa, tahapan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berada dalam rentang waktu kurang dari 1 (satu) tahun dengan pemilihan kepala daerah, disadari atau tidak, juga berimplikasi pada partai politik, terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum. Dalam hal ini, partai politik dalam waktu instan harus menyiapkan ribuan kader untuk dapat bersaing dan berkompetisi pada semua jenjang pemilihan, pada waktu yang berdekatan. Akibatnya, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik. Selain itu, dengan jadwal yang berdekatan, partai politik tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perekrutan calon anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus dan bagi partai politik tertentu harus pula mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilihan umum presiden/wakil presiden. Dengan demikian, agenda yang berdekatan tersebut telah berdampak pada pelemahan pelembagaan partai politik. Selain itu, dengan rentang waktu yang berdekatan dan ditambah dengan penggabungan pemilihan umum masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional. Padahal, dengan meletakkan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu atau masalah pembangunan di tingkat nasional yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat

Dengan tujuan untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat, serta demi mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tersebut dan tujuan penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, menurut Mahkamah, keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional ke depan adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD dan pemilihan Kepala Dearah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan pemilihan Kepala Daerah.

Putusan ini secara otomatis memerlukan revisi besar-besaran terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, untuk mengakomodasi pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. (Ditulis oleh Joko Santosa - Ketua KPU Kabupaten Bantul)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 462 kali